Friday, June 23, 2017

√ Melalui Bahasa, Ku Temukan Cinta


Aku dan adikku menciptakan tantangan yaitu mencar ilmu bahasa gila dari nol selain bahasa Inggris √ Melalui Bahasa, Ku Temukan Cinta








A. Alasan Awal Belajar Bahasa Jepang





25 Desember 2015





Aku dan adikku menciptakan tantangan yaitu mencar ilmu bahasa gila dari nol selain bahasa Inggris. Kemudian kami tetapkan untuk mencar ilmu bahasa Jepang dan siapa yang paling cepat menghapal hiragana dan katakana. Alhamdulillah saya menang dan bisa menghapal katakana dan hiragana dalam waktu kurang dari seminggu.





Setelah kalah games, adikku tetapkan berhenti mencar ilmu bahasa Jepang. Sebenarnya saya juga ingin berhenti. Namun, saya malah melanjutkan mencar ilmu bahasa Jepang alasannya ialah selalu mendapat e-mail dari suatu biro travel Jepang yang berhubungan dengan kantor orang tuaku. Saat itu saya masih duduk di D3 Keperawatan tingkat 3. Saking kesalnya saya pada bos Jepang itu, saya bilang ke dia,”We don’t understand Japanese at all. If you don’t mind, would you like to give us translation in English or Indonesian?“. Alih-alih menyetujui permintaanku, beliau malah tertawa keras dan berbicara dalam bahasa Jepang ke stafnya. Kemudian saya mulai menantang diriku untuk mencar ilmu bahasa Jepang dan ingin tahu seberapa sulit sih bahasanya hingga ia terlihat menyepelekanku dikala itu.









Awal Januari 2016





Adikku merekomendasikan sebuah aplikasi mencar ilmu bahasa gila yang mana sanggup menghubungkan kita dengan penutur aslinya yang sedang mencar ilmu bahasa Indonesia. Kemudian saya mencar ilmu belajar sendiri hanya melalui chatting di aplikasi itu. Kalian tahu? Semua kalimat yang saya ketik dalam bahasa Jepang dicoret pakai garis merah. Banyak sekali teman-teman online yang memintaku mencar ilmu itu dari buku atau cari cara menciptakan kalimat terlebih dahulu di internet. Namun saya masih tetap bersikukuh tidak menggunakan text book sama sekali.





Dua bulan sudah, saya mempelajari bahasa Jepang. Namun hasilnya nihil hingga tibalah dititik keputusasaan. Qadarullah, saya berkenalan dengan seorang sahabat online yang tertarik dengan Islam dan akan berkunjung ke Jakarta pada bulan April 2016. Orang itu berjulukan Kouta Nakatsuji. Saat itu ia tidak mencar ilmu bahasa Indonesia melainkan bahasa Inggris.
Aku masih tidak yakin untuk bertemu seseorang yang saya kenal dari dunia maya. Selama seminggu sebelum pertemuan, saya berdoa biar diberi petunjuk oleh Tuhan. Aku berdoa pada Allah, saya hanya ingin mencar ilmu bahasa Jepang dengannya. Jika orang itu tidak baik, semoga saya kuliah hingga malam menyerupai biasanya. Namun kalau orang itu baik, maka mudahkanlah kami untuk bertemu.
Kemudian saya mengatur tempat ketemuan kita yaitu di pintu masuk masjid Istiqlal yang bersebrangan dengan gereja Katedral.









Sabtu, 2 April 2016





Entah mengapa hatiku terasa senang sekali pada hari itu. Ini menyerupai sebuah takdir yang semuanya diberikan fasilitas oleh-Nya menyerupai pulang kuliah yang lebih awal daripada biasanya alasannya ialah dosen-dosen yang mengajar berhalangan hadir.


Waktu masih memperlihatkan pukul 11.00 siang. “Ya Allah, apa ini tanda kalo Engkau mengizinkan saya untuk bertemu dengannya? Ya Allah lindungilah aku, semoga kami bisa saling mencar ilmu dikala bertemu nanti.”ucapku dalan hati sembari meyakini diri tidak aka nada hal jelek terjadi.


Kemudian saya mengganti pakaianku di masjid bersahabat kampus. Setelah itu pergi ke masjid Istiqlal menggunakan bus Transjakarta.


Sesampainya di Istiqlal, tiba-tiba semua kekhawatiranku hilang. Aku menunggu sekitar satu jam di meeting point. Aku tiba terlalu cepat.


“Duh ini orang mana sih? Salah saya sendiri sih mengajak bertemu jam 2. Sekarang masih jam 1. ” ucapku dalam hati dengan kesal.


“Ih udah jam 13.55 tapi beliau belum tiba juga. Ya udah deh, saya tunggu hingga jam 14.00 aja. Kalo jam 14.00 tidak tiba juga. Pulang saja lah. Oh ya saya juga kan tidak tahu muka Kouta menyerupai apa. Lah terus bagaimana ketemu beliau hari ini. Aku juga tidak minta nomor teleponnya sama sekali. Eh tapi kan saya sudah bilang akan mengenakan baju apa untuk pertemuan hari ini. Hmm…… Ya sudah deh, nanti kalau ada orang mata sipit berkulit putih niscaya dia. Lagian orang Jepang niscaya menyerupai ama orang Cina.”


Tepat pada pukul 14.00 tiba-tiba saya melihat seorang laki-laki rupawan berkulit putih mata sipit menggunakan topi menginjakkan kakinya ke depan gerbang Masjid.


“Wah tampaknya ini deh orangnya. Pria ini tampan sekali. Duh kalau hingga beliau orangnya, ini akan jadi pertemuan tidak terlupakan nih.” ucapku dalam hati sambil tersenyum sendiri.


“Apa? Kok laki-laki itu malah jalan sembari menunjuk kearahku sih. Duh, ini orang bicara pakai bahasa apa sih.”ujarku dalam hati.


“Maaf , apakah kau sedang mencari seseorang? Kenapa menunjuk-nunjuk ke arahku?” tanyaku padanya menggunakan bahasa Inggris.


“ Konnichiwa. Aku kouta dari Jepang. Kamu Yuni kan? Teman online ku dari aplikasi Hellotalk?”tanyanya


“Ah, Kouta! Maaf saya tidak mengenalimu.” Jawabku sambil tersenyum.


Ah entah mengapa hari itu menjadi begitu cepat. Aku sangat senang sekali sanggup bertemu dengannya. Meskipun kami masih ingin bertemu lebih usang lagi.


Aku dan adikku menciptakan tantangan yaitu mencar ilmu bahasa gila dari nol selain bahasa Inggris √ Melalui Bahasa, Ku Temukan Cinta
Oh ya ini foto kami sebelum pulang.

Ketika bertemu dengannya, Kouta menceritakan banyak hal yang menciptakan beliau terkejut ketika tiba di Jakarta. Misalnya pengendara yang tidak ramah terhadap pejalan kaki sehingga ia hampir tertabrak kendaraan beroda empat ketika menyebrang. Makanan yang berdasarkan pengecap orang Indonesia tidak begitu pedas, tapi cukup membuatnya sakit perut. Pelafalan bahasa Inggris Kouta yang masih ala orang Jepang salah satu hambatan kami dalam berkomunikasi dikala itu. Oleh alasannya ialah itu, setiap saya berbicara ia selalu menggunakan kamus elektronik untuk berkomunikasi. Inilah awal alasan keduaku tuk mempelajari bahasa Jepang.









B. Sensei, Aku Menyerah!





Kamis, 23 Juni 2016





Sudah 7 bulan mencar ilmu sebuah bahasa baru. Aku tidak mencar ilmu disekolah atau tempat kursus bahasa gila alasannya ialah beberapa alasan. Mungkin buat sebagian orang sangatlah gampang mempelajari bahasa ini. Hal ini berbeda denganku. Aku mempelajari bahasa ini untuk suatu tujuan bukan alasannya ialah menyukainya.





Kesan pertama melihat karakter kanji tuh menyerupai karakter yang sedang menari-nari diatas kertas. Aku mencar ilmu dengan ditemani seorang sensei sambil mengkhayal kanji yang saya lihat itu sedang berjalan diatas kertas menciptakan sebuah cerita.





Beberapa hari sebelumnya, saya merasa lelah. Hingga suatu ketika postinganku di sebuah aplikasi perihal impian berhenti mencar ilmu bahasa Jepang terbaca oleh Kentarou. Yah beliau ialah sahabat online keduaku. Setiap malam kami selalu chat dan berbicara melalui voice call. Namun, Kentarou selalu menyemangatiku tuk tetap mencar ilmu bahasa Jepang dan ingin bertemu denganku bulan depan tuk saling bertukar bahasa dan budaya selama ia di Indonesia.









C. Awal Kenangan Manisku Bersamanya





Jumat, 29 Juli 2016





Hari itu ialah awal dari pertemuanku dengan Ken. Ya, menyerupai sebelumnya, kami gres saling mengetahui wajah lawan bicara sesudah bertemu di Jakarta. Ken mengajukan sebuah syarat padaku. Sebelum ia mengajariku, ia mau saya memandunya tuk berkeliling kota Jakarta sehari sebelum temannya pergi ke Yogyakarta.





Saat itu, Ken dan kawannya takut salah naik bus. Oleh alasannya ialah itu, mereka berjalan kaki dari sebuah hotel yang ada di tempat Blok M hingga Semanggi. Kemudian kami bertemu di depan kantor polisi. Disana, ia memesan kopi hitam tanpa gula. Setelah kopi itu sampai, ia menyampaikan “amai”





“Bu, tamba gula.”kata Ken

Kemudian ia menyeruput kopinya lagi dan menyampaikan “amai”

“Bu, tolong kopinya tamba gula.”

Sekali lagi, si penjual menambahkan gula kedalam kopi Ken.

“Why is Indonesia’s coffee very sweet?” tanya Ken padaku

“Because you said “tambah” not “tanpa”. Then she added more sugar.” Jawabku





Aku dan Konosuke San hanya tertawa melihat lisan terkejut Ken dikala itu.

“Bu, bom.” ujar Ken.

Sontak saya dan beberapa polisi yang di kantin sedikit terkejut. Ternyata yang dimaksud beliau itu bukan bom, melainkan bon.





Selain itu ada hal yang menarik lainnya menyerupai dikala makan siang kami menentukan gado-gado di Monas. Sayangnya, penjual gado-gado menciptakan gado-gado super pedas untukku terlebih dahulu kemudian gado-gado Ken (tidak pedas). Namun Ken salah makan, ia makan punyaku sehingga ia sakit perut.





Setelah berjalan-jalan disekitar Monas dan Museum Gajah. Kami berjalan kaki hingga Kota Tua. Selama di perjalanan Aku dan Konosuke San menikmati perjalanan alasannya ialah kami terbiasa berjalan kaki. Sedangkan Ken selalu saja mengeluh.

“Kenapa Jakarta selalu summer. Panas.” keluh Ken sembari mengusap keringatnya yang sebesar biji jagung.





“Sedikit lagi sampai, bersabarlah.” Jawabku.





Kemudian kami menyebrang jalan. Tapi kedua orang sensei ku tertinggal di belakang sehingga saya kembali lagi tuk membantu mereka menyebrang jalan. Setelah menyebrang, Konosuke San dan Kentarou bertepuk tangan dan menyampaikan “wah kau jago ya bisa menyebrang jalan.”





“Biasa saja. Memangnya di Jepang kalian tidak bisa menyebrang menyerupai tadi ya? Kalau di Indonesia itu, biasanya laki-laki melindungi perempuan ketika menyebrang loh.” candaku pada mereka.





“Eh? Tapi itu berbahaya ya tadi. Banyak kendaraan melaju cepat meskipun lampu merah.”kata Ken





“Ok, saya akan menjagamu alasannya ialah saya laki-laki.” Jawab Konosuke San





Tak usang kemudian, alhasil kami hingga di Kota Tua. Setelah berfoto disana. Aku pamit pulang lebih dulu. Sebelum saya pulang, Ken menawarkan omiyage yang hingga dikala ini masih kusimpan.





Hari itu saya mendapat pengalaman dan cara mencar ilmu yang baik (yang sesuai dengan kemampuanku). Yah memang setiap orang mempunyai cara yang berbeda. Namun, saya bukanlah tipe orang yang gampang mengingat sesuatu dengan gampang terutama mempelajari bahasa gila menyerupai Bahasa Inggris dan Bahasa Jepang tentunya.





Dua orang sensei hari ini , Kentarou dengan temannya Konosuke mempunyai cara mencar ilmu yang berbeda. Namun, Konosuke San lebih cepat menangkap pelajaran yang saya berikan hari ini, contohnya ketika saya mengajarkan cara melafalkan suatu kata. Konosuke San melihat gerakan bibirku sedangkan Ken tidak. Hal ini mengingatkanku dikala mengajarkan adik (usianya 2 tahun) dirumah untuk berbicara. (Pelajaran pertama : mencar ilmu bahasa gila menyerupai halnya anak kecil yang mencar ilmu berbicara)





Selain itu, Konosuke San selalu mencatat kata-kata gres dan mempraktikkan kembali tanpa rasa aib atau takut kalau ia melaksanakan kesalahan. Misalnya cara makan ala orang Indonesia, menyebrang jalan, dan masih banyak lagi. Kelihatan konyol sih hingga orang lain yah mungkin ada yang menganggap betapa bodohnya dikala itu. Namun, beliau bisa juga mempraktikkannya dengan benar. (Pelajaran kedua : mencatat hal-hal yang gres dan membacanya kembali selain itu harus berani)





Beberapa orang mungkin menganggap mencar ilmu ialah hal yang paling membosankan bahkan memalukan dalam menjalani prosesnya. Awalnya sih saya juga berpikir menyerupai itu tapi kalau kini tidak. Belajar itu hal yang menyenangkan meskipun harus menanggung aib kalau orang lain menertawakan kesalahan kita. Eiiitss… Malah yang harus aib itu orang yang gengsi atau enggan belajar. Belajar kan tidak harus disekolah atau universitas saja,kan? 😛









D. Janji Kami





Seminggu kemudian, saya dan Kentarou bertemu kembali. Namun, kali ini kita mencar ilmu di rumahku. Kami saling mencar ilmu dan mengajar menggunakan papan tulis. Di pertemuan ini, Ken mengalami culture shock. Ketika makan siang, ia terkejut melihatku makan menggunakan tangan dan seluruh makanan yang disajikan pedas dan berminyak. Baru saja ia makan satu gorengan, seketika itu ia batuk-batuk. Ia juga terkejut ketika melihat kamar mandi dirumah. Ken menyampaikan kamar mandi di Jepang kering tidak menyerupai di rumahku.





Di pertemuan kedua ini kami saling memperkenalkan keluarga kami masing-masing. Sebelum pulang, kami menciptakan janji. Yah komitmen yang selalu saya ingat dan menjadi salah satu penyemangatku tuk terus belajar. Kami saling berjanji suatu hari nanti berbicara hanya dalam dua bahasa yaitu bahasa Jepang dan bahasa Indonesia. Saat itu kami masih berbicara dalam 3 bahasa. Bahasa Inggris 80%, bahasa Jepang 10%, dan bahasa Indonesia 10%.









Bersambung……









Maaf belum hingga selesai, ini gres chapter 1 nya. Padahal sudah menciptakan kerangkanya hingga 2 chapter. Tapi kalau sahabat ?teman ada yang mau baca kelanjutannya, saya mau posting di grup kalau boleh sama admin 😀





Terima
kasih untuk teman-teman yang sudah baca hingga sini.









Penulis :  Yuni Sundarsih



Sumber https://wkwkjapan.com