Candi Dieng, Rumah Para Dewa - Dieng yang bermakna tempat bersemayamnya para dewa, sesungguhnya yaitu kaldera gunung api purba yang dikelilingi gunung api aktif. Uniknya di lokasi yang rawan peristiwa tersebut para leluhur kita justru membangun tempat peribadatan yang berbentuk
candi. Kawasan percandian di dataran tinggi Dieng diketemukan kembali oleh seorang tentaran Inggris yang sedang menjelajah Dieng di tahun 1814. Pada ketika itu, dataran tinggi Dieng masih berupa danau dengan bangunan candi yang terendam air. Penelitian terhadap temuan candi di Kawasan Dieng dilanjutkan oleh Van Kinsbergen tahun 1856. Air yang merendam bangunan dikeringkan melalui saluran-saluran air.
Percandian yang konon merupakan kompleks tertua di pulau Jawa ini, tentunya menjadi misteri yang menarik untuk ditelusuri. Kecanggihan teknologi leluhur pada zaman dulu masih bisa kita saksikan di Kawasan dataran tinggi Dieng ini. Beberapa buktinya adanya candi-candi dan sebuah situs pemukiman kuno. Tak masuk nalar sepertinya, membangun daerah suci dan pemukiman di lokasi yang rawan bahaya. Dibalik keindahan alam dan kesuburan tanahnya, ada ancaman senyap gas beracun yang bahkan pernah mengakibatkan ratusan korban jiwa ketika Kawah Sinila meletus di tahun 1979 lalu.
Candi Dieng dan Gunung Berapi
Apa yang menjadi pertimbangan para leluhur membangun daerah suci
Candi Dieng di kaldera gunung berapi? Tidakkah mereka khawatir dengan ancaman yang selalu mengancam? Pada masa lampau orang sudah tahu bisa mengidentifikasi soal tanah, soal kemiringan lahan, soal cocok tidaknya lahan untuk tanaman, mereka sudah punya konsep-konsep menyerupai itu. Hanya mungkin pengetahuan itu tidak hingga kepada kita lantaran tidak dituliskan. Tetapi, mereka tentu punya hal menyerupai itu, alasannya yaitu bila mereka tidak mempunyai tentu sulit buat mereka untuk melaksanakan pembiasaan terhadap alam.
Keberadaan kawah aktif yang menjadi bukti acara gunung berapi di sekitar Dieng sangat menarik rasa penasaran. Salah satu kawah yang juga menjadi daya tarik wisata di daerah Dieng yaitu kawah Sikidang. Lokasinya yang berpindah-pindah menyerupai Kidang atau Rusa menjadi asal-usul penamaannya.
Kompleks percandian Dieng terletak di puncak gunung berketinggian 2000 mdpl. Keberadaannya merupakan perpaduan dari kepercayaan nusantara yang memujah roh nenek moyang dan agama Siwa dari India. Pendirian candi itu untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Nah, orang dulu bisa mengetahui dimana energi-energi di satu lokasi yang sangat membantu nantinya kekerabatan antara insan dengan Tuhan. Nah, ketemulah salah satunya di Dieng. Apakah itu disana rawan peristiwa atau terlalu dingin, ternyata yang dipentingkan yaitu lokasi yang benar tersebut.
Kompleks Candi Dieng
Puluhan prasasti berbahasa Jawa Kuno yang ditemukan di sekitar lokasi, menggambarkan Dieng sebagai sentra ritual keagamaan. Lokasi tempat peribadatan yang berada di dataran tinggi Dieng, sesuai dengan konsep agama Hindu yang memuja Siwa. Candi yaitu replika gunung yang dipercaya sebagai tempat bertahtanya para dewa. Nenek moyang kita dulu mempunyai keunggulan yaitu keunggulan dalam menentukan lokasi bangunan-bangunan suci, contohnya di puncak gunung, lereng gunung, dan kebanyakan mereka erat sekali hubungannya dengan lingkungan air.
Dataran tinggi Dieng diyakini mempunyai daerah percandian yang sangat luas sekitar 90 hektar. Sayangnya, gres sebagian kecil saja yang berhasil direstorasi. Kompleks candi Arjuna terdiri dari 5 bangunan candi dan menjadi daya tarik utama wisatawan lantaran keindahan panoramanya. Konon, di masa kemudian kita tidak bisa sembarang memasuki Kawasan suci percandian. Para peziarah harus melewati jalan setapak berupa situs tangga yang disebut Ondo Budho.
|
Ondo Budho Dieng |
Situs berupa pancuran yang disebut Tuk Bimo Lukar juga banyak menarik perhatian pengunjung. Mata air Tuk Bimo Lukar ini dahulu diyakini sebagai tempat untuk mensucikan diri bagi para pandita sebelum mereka memasuki kompleksi candi-candi yang ada di Dieng. Sebelah timur kompleks candi Arjuna, di bersahabat jalan masuk, terdapat situs yang terdiri dari umpak-umpak kerikil yang disebut Dharmasala. Terdapat pula pendopo gres yang dibangun sebagai bentuk perwujudan umpak-umpak tersebut. Dua buah sumur yang disucikan menjadi potongan yang tak terpisahkan dari ritual peribadatan di candi Arjuna.
|
Tuk Bimo Lukar Dieng |
Sisa-sisa bangunan berbentuk tumpukan kerikil diperkirakan membentuk sebuah contoh bangunan yang berupa pendopo dan konon tempat inilah yang diperkirakan menjadi tempat tinggal sementara bagi para pandita atau pemuka agama. Kompleksi candi Arjuna terletak di Desa Dieng Kulon Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Luasnya sekitar 1 hektar dengan 4 buah candi utama, yaitu candi Arjuna, Srikandi, Puntadewa, dan Sembadra. Satu candi pendamping yang berhadapan dengan candi Arjuna dinamai candi Semar. Melihat perbedaan bentuk serta ornament setiap candi mengindikasikan masa pembangunan yang berbeda. Candi Arjuna diduga dibangun paling awal, sementara candi Sembadra paling akhir.
Candi yang paling termasyhur disini tentunya candi Arjuna, berbentuk dasar persegi dengan badan candi yang berdiri di atas kerikil setinggi 1 meter. Pada potongan depan, terdapat tangga menuju pintu masuk candi dan di potongan dalamnya terdapat Yoni. Sisi dinding utara, selatan, dan barat, membentuk bingkai relung tempat arca yang dihiasi pahatan berpola kertas tempel. Atap candi bentuknya kubus bersusun yang semakin ke atas, semakin mengecil. Pengaruh budaya India sangat terasa di candi Arjuna. Fungsi candi Arjuna dahulu dipakai sebagai tempat untuk melaksanakan upacara siraman pada Lingga Yoni di dalamnya dan semoga air tidak menggenang, maka dibuatkan sebuah saluran air yang diberi hiasan kepala Makara.
|
Candi Arjuna |
Candi Semar saling berhadapan dengan candi Arjuna. Bentuknya paling berbeda, fungsinya diduga sebagai tempat menaruh benda pusaka ketika beritual di kompleks candi Arjuna. Pada bangunan candi berikutnya, imbas lokal Nampak mendominasi. Candi Srikandi terletak di utara candi Arjuna, berbentuk kubus dengan tangga naik dan bilik penampil. Pada dinding-dindingnya terdapat pahatan sosok tuhan Wisnu, Siwa, dan Brahma. Sayangnya, potongan atas candi sudah rusak tak berbentuk lagi.
|
Candi Semar (kanan) dan Candi Srikandi (kiri) |
Candi Puntadewa, bentuk menara atap dan posisi relung tempat Arca pada candi semakin terperinci menunjukkan adanya perkembangaan gaya arsitektur yang berubah. Sayangnya, kondisi candi punta tuhan cukup mengkhawatirkan. Pondasi candi sudah mulai amblas masuk ke tanah.
|
Candi Puntadewa |
Candi Sembadra sepintas menyerupai bangunan bertingkat, puncak atapnya sudah hancur. Pada keempat sisi atap ada relung kecil untuk tempat menaruh Arca. Tak jauh dari kompleks candi Arjuna, terdapat candi Setyaki. Keunikannya, Nampak pada satu relief yang jarang ditemukan dipercandian lainnya. Sesosok putra tuhan Siwa yang dikenal dengan nama Kartikeya terukir sedang menunggang Merak.
Candi Gatot Kaca mempunyai gaya lokal yang persis menyerupai candi-candi di Jawa Tengah. Hiasan Kala Jadi di atas pintu masuk candi sangat khas yang berbeda dengan yang ada di Jawa Timur. Salah satu yang menjadi ciri khas candi-candi yang berada di Jawa Tengah yaitu mempunyai relief Kala namun tidak mempunyai rahang bawah, salah satunya yang terdapat pada candi Gatot Kaca.
|
Candi Gatotkaca |
Candi Bima berdiri kokoh dipersimpangan jalan menuju pintu masuk mitra Sikidang. Jika dilihat dari bangunan fisiknya, candi Bima merupakan candi yang paling besar dengan bentuk yang sangat berbeda bila dibandingkan dengan candi lainnya. Bagian atap berbentuk menyerupai mangkok yang ditelungkupkan. Pada masing-masing bidang tingkatan, terdapat relung yang melengkung dengan hiasan relief kepala tuhan di dalamnya. Motif relief hias menyerupai ini dikenal dengan nama arca kudu yang menjadi ciri khas bangunan candi di India. Nampaknya proses pembangunan candi Bimia terjadi di masa-masa awal masuknya agama Siwa ke nusantara, sehingga proses akulturasi budaya belum nampak pada wujud bangunannya.
|
Candi Bima |
Selanjutnya, candi yang terletak di lereng gunung perahu, namanya candi dwarawati. Keberadaannya memang kurang dikenal oleh para wisatawan. Lokasinya cukup tersembunyi di antara perkampungan warga dan perkebunan kentang. Berdasarkan penelitian, candi dwarawati bahwasanya merupakan potongan kompleks percandian menyerupai candi Arjuna. Sayangnya, sekarang hanya tinggal candi dwarawati tersisa.
|
Candi Dwarawati |
Temuan berupa kompleks percandian di Dieng tentunya menunjukkan betapa di masa kemudian Kawasan ini merupakan tempat yang menjadi sentra kegiatan keagamaan. Adanya pondasi-pondasi yang diyakini sebagai bekas pemukiman semakin memperkuat hipotesa yang ada.
Dataran tinggi Dieng memang luar biasa. Bentang alam yang indah, tanah yang subur, dan peninggalan bersejarahnya seakan membuka mata kita akan tingginya kemampuan para pendahulu kita dalam membangun peradaban di lokasi yang rawan bencana. Sudah selayaknya kita gembira menjadi Indonesia.
Mengunjungi situs Dieng serasa membawa kita ke masa lalu, masa di mana peradaban mencapai puncak keemasannya di tanah khayangan sentra Jawa. Demikianlah dongeng perihal
Candi Dieng, Rumah Para Dewa ini, semoga bermanfaat.
Sumber http://www.ilmusiana.com