oleh: Kadir Wong
Tsao yaitu seorang cendikiawan muda. Kegemarannya berpetualang. Keluar masuk desa mengumpulkan banyak sekali kisah mengenai hantu. Cerita-cerita itu dihimpun menjadi sebuah buku. Rencananya akan ia beri judul: Hantu Tidak Perlu Ditakuti.
Pada suatu hari, tibalah ia di sebuah desa. Hari sudah gelap ketika ia tiba di rumah seorang guru. Guru tu sobat ayahnya, dan pernah mengajar dikala ia duduk di kursi Sekolah Dasar.
Sang guru minta Tsao semoga bermalam di rumahnya. "Terima kasih atas kebaikan hati guru..." ujar Tsao gembira. Oleh sang guru Tsao diberi daerah di kamar anak lelakinya, yang ketika itu sedang kosong. Si anak sedang menuntut ilmu di kota lain.
Namun tanpa diduga, malam harinya si anak tiba dan meminta semoga kamarnya tidak digunakan orang. Anak lelaki guru itu sedikit kurang ajar, dan keras kepala. Ayahnya berusaha memberi pengertian, "Dia itu Tsao, Nak. Muridku dulu. Dia yaitu putera sobat karibku. Dia cuma ingin menumpang tidur. Tak lebih dari semalam. Ia tidak akan merepotkanmu. Dan bukankah ia sebaya denganmu..."
Tetapi anak lelaki itu tidak mau tahu. "Sepertinya saya tak akan cocok dengannya, Ayah. Dan lagi apa yang harus kuobrolkan dengan anak menyerupai dia," ujar anak guru itu ketus.
Ayah tidak sanggup berbuat apa-apa. Tsao karenanya diminta untuk pindah ke sebuah kamar lain. Kamar itu nampak baru. Melihat Tsao memasuki kamar itu, anak lelaki si guru mesam-mesem penuh arti. Merasa menang, atau barang kali ada alasan lain?
Ruangan itu higienis dan rapi. Sepertinya jarang sekali di pakai. Diatas sebuah meja rendah terdapat banyak sekali macam kuas, daerah tinta hitam, buku-buku, dan tumpukan kertas. Ruangan itu nampaknya kamar kerja pemilik rumah.
Tsao duduk di belakang meja. Guru itu berkata ramah, "Anggap saja ini rumah sendiri, Tsao. Dan bila ada apa-apa, jangan segan-segan membangunkan kami. Nah, selamat malam..." sehabis itu ditutupnya pintu geser.
Diterangi lampu duduk, Tsao menulis sepucuk surat ke rumah. Asyik benar ia terbuai kalimat demi kalimat. Tanpa disadari ada bacin asing di kamar itu. Waktu ia menoleh, di bersahabat lampu nampak sosok seorang wanita. Wajahnya cukup menarik. Wanita itu tersenyum ke arahnya.
Tsao melirik ke pintu. Tetap tertutup. Saking asyiknya menulis, tak terasa malam sudah larut. Sadarlah Tsao, bahwa perempuan di depannya itu yaitu hantu. Tapi Tsao sama sekali tidak takut. Justru pengalaman menyerupai itulah yang sedang dicarinya. Ia ingin tahu.
Hantu itu mengamati apa yang sedang dilakukan Tsao. Tsao balas memandang, cetusnya, "Dari pada kamu duduk bengong, ayo lakukan sesuatu. Merapikan sumbu lampu, misalnya, semoga nyalanya jernih dan rata."
Wanita itu nampaknya kesal. Ia justru menghembus nyala lampu hingga padam, kemudian menghampiri Tsao. Tsao berdiri menyongsong. Kesal sekali keasyikannya menulis diganggu. Diam-diam dicelupkan jari-jarinya ke tinta, kemudian dengan gerakan cepat dan tak terduga diolesnya kedua pipi hantu perempuan itu. Katanya, "Kau akan dikenali orang lewat noda tinta pada kedua pipimu!"
Hantu perempuan itu amat terkejut dan menjadi takut. Sambil menutup kedua pipinya dengan telapak tangan, larilah ia tunggang langgang menembus pintu. Lenyap entah kemana. Yang terdengar oleh Tsao hanyalah bunyi lengking yang tajam dan memilikan hati.
Esok harinya, Tsao mengisahkan pengalamannya kepa tuan rumah. Sang guru mengaku bahwa kamar yang ditempati Tsao itu dihuni hantu. "Ada seorang pembantu rumah tangga yang tewas misterius di kamar itu. Jadi, kami hanya menggunakannya di siang hari, untuk ruang kerja, atau menjamu tamu. Ngomong-ngomong, kamu tak diapa-apakannya, kan?"
Tsao sekarang mengerti mengapa anak lelaki tuan rumah yang nakal tersenyum-senyum dikala ia memasuki ruangan tersebut.
Hantu pembantu rumah tangga yang tewas misterius itu masih sering menampakkan diri. Tapi setiap kali bertemu orang ia akan memalingkan muka, menutupi kedua pipi dengan telapak tangan, dan menyingkir. Seorang yang pernah memergokinya berkata, kedua pipi hantu itu ternoda olesan tinta.
Sumber http://campusnancy.blogspot.com