Thursday, August 10, 2017

√ Cerpen Cinta Masih Tanda Tanya

Assalamu'alaikum

RAJEB GROUPS - Di kesempatan kali ini kami akan membagikan Cerpen Cinta dengan judul MASIH TANDA TANYA. Cerpen atau dongeng pendek atau juga dongeng cinta. 
Cerpen di bawah ini ialah karya temanku waktu SMA. beliau sering banget buat cerpen dan nanti dalam waktu dekat kami akan membagikannya. Tungguin aja.

Jangan Lupa Share Ya

 Di kesempatan kali ini kami akan membagikan Cerpen Cinta dengan judul MASIH TANDA TANYA √ Cerpen Cinta MASIH TANDA TANYA

Masih Tanda Tanya

Karya : Darma Okta Filujeng

Kereta api melaksanakan GLBB diperlambat sempurna pukul 06.20 WIB. Dengan balutan jilbab warna pastel dipadu jaket peach dan bawahan pensil blue night, aku berlari kecil mencari gerbong nomor dua. Berjubel-jubel orang berebut masuk pintu, alhamdulillah kerena saya sanggup leluasa mencicipi sapuan AC Dhoho Train. Terasa menyejuk rohani dan jasmani, saya mencocokkan nomor yang tertera pada karcisku dengan nomor urut kursi kereta.

Tepat sekali tak kurang dari dua puluh detik. Aku telah menemukan angka 7E pada sisi kiri gerbong itu, kemudian kuletakkan barang bawaanku ke atas bagasi. Kulepaskan sarungtangan bersama kepenatan yang telah kupikul sajak dua jam menunggu, terasa lebih enteng dan rileks. Jemariku pun mencicipi rengkuhan kursi merah, dibalik jendela begitu terang lampu-lampu berlarian kemudian tertinggal kereta. Gemerlap malam berkuasa, sehingga rembulan masih bertengger dibalik rumah susun penduduk Wonokromo.

Sementara itu di samping kananku, beberapa orang masih resah dengan nomor bangkunya. Akan tatapi saya bersyukur, alasannya ialah hanya saya yang menikmati bangkuku dan kursi depanku. Aku menoleh ke kiri lagi, dibalik buramnya beling riben kereta berselimut kabut malam perlahan gemerlap lampu menghilang. Malam telah merenggut klorofil sang daun, menyulapnya menjadi warna hitam. Sihir malam pun memaksa stroma daun untuk melaksanakan Siklus Calvin. Kubuka ponselku, untuk mengirimkan pesan kepada ibu dan saudaraku bahwa saya sudah naik kereta.

“Permisi”. Dengan cepat saya menjawab “Ya mas, silahkan”. Pemuda itu meletakkan barang bawaannya keatas bagasi, kemudian ia meletakkan tas ransel di sampingnya. Sehingga posisi kami saling berhadapan dengan tas ransel, begitulah detailnya. Aku tak berani menatap wajahnya hanya sanggup memendang sebatas bahunya saja. Layaknya anak muda jaman sekarang, saya mencoba tak mnghiraukan cowok itu. Padahal sebenarnya, saya ingin tau siapa beliau agaknya suaranya tak aneh bagiku.


“Pulang kuliah Mbak, kuliah dimana?” ia memecah kebisuan kami.

“Belum kuliah kok Mas.” belum apa-apa sudah dib0mardir dengan pertanyaan.

“Ooh, anda dari mana?” ia mencoba akrab, dengan santai saya menjawabnya.

“Menghadiri program wisudahan.” singkat saya tahu bahwa beliau tipikal orang kepo.

“Universitas apa?” Sudah kuduga gumamku dalam hati, benar kan muncul sifat aslinya.

“UNESA jurusan PGSD”aku menjawab lengkap semoga ia tak tanya lagi.

“Ooh, jago itu. Mbak berhenti di stasiun mana?”

Pandanganku masih pada ponselku, saya mencoba untuk tidak memperlihatkan rasa kesalku. Kemudian kumenjawabnya dengan hening juga anggun,

“Semut, anda?” saya berbalik bertanya semoga saya terlihat srawung (bersosialisasi) dengan orang lain.

“Wah kebetulan sama.” nadanya begitu sumringah.

“Kalau saya dari desa Kadilangu, kalau sekolah kau dimana dan kelas berapa?” ia mencoba dekat alasannya ialah satu kecamatan denganku.

“SMAN Kadilangu kelas XI- IPA 1.” jawabku singkat.

”Waw, mantan adik kelasku ternyata” nadanya dengan shock.

Aku segera menimpali “Ya, saya tadi sempat kaget sewaktu melihat Mas. ”

“Oo jadi saya juga familiar ya! Boleh tahu kau kenal aku?”

“Tidak juga, tapi sempat lihat waktu lomba melukis kita kan pernah bersebelahan.” Jelasku vertikal dan horizon sehingga menjadikan vektor yang sangat rumit alasannya ialah harus diakar dan dikuadratkan, apalagi angkanya pecahan sangat tidak efisien untuk ditintakan dalam buku fisika.

Ladang jagung meliuk-liuk diterpa angin, dibalik beling riben kereta yang buram. Pointilis alam tercipta diantara laju gerbong Dhoho Train yang menuju stasiun. Keadantahan ini berbeda 180 derajat ketika saya berada ditempat pertama tadi. Entah kenapa diantara rayapan malam, alam seolah bersedih pasi. Mengingatkan pada purnawiata bulan lalu, saya meneteskan kepahitan alasannya ialah ditinggal lelaki yang kuidolakan sehingga tak sekalipun kubayangkan sanggup bertemu lagi dengan dirinya. Mamang waktu sering tak sejalan dengan rencana, akan tetapi nyatanya dihadapanku Mas Adi sedang bernostalgia ke masa SMA. Aku hanya bisa tersnyum mengiyakannya.

Tanpa ia sadari saya turut terlarut dalam euforia kengan lalu. Dulu saya sering menunggu kedatangannya dan kepulangannya di taman depan sekolah, dan berharap ia melirikku walau sekali. Pernah suatu waktu ia melihatku saya lupa harinya yang terang saya menggunakan pramuka, rasanya melayang hingga ke surga. Namanya juga orang lagi kasmaran, walaupun melaksanakan hal-hal yang
berdasarkan orang waras tidak perlu dilakukan atau bisa dibilang alay tatap saja percaya diri. 

*******

Cahaya kuning menyambut kedatangan kereta yang kami tumpangi, kita berdua mengantre untuk turun dari kereta. Malam pun menangis, semua orang yang turun berteduh di stasiun. Ada juga yang pribadi tawar menawar dengan tukang becak, ada yang ke kedai untuk sekedar minum teh, ada yang menunggu jemputan ibarat kami.Aku rapatkan jaketku sambil menyeruput Good Time Capucino bersama dengan Mas Adi rasanya senang tak terperi, hujan mekin deras mungkin mengguyur hingga satu kecamatan.

Kami membisu terperangai dalam sepi, kemudian terpecah menjadi butiran mutiara yang jatuh bersama hujan. “Aku boleh minta nomor Hp kamu, barang kali saya mau tanya di sekolah....se....an ....ku.....eeng......” kataya terlalu berbelit–belit shingga tak kuhiraukan tapi pada dasarnya beliau ingin meminta nomor ponselku untuk menanyakan siapa saja yang ke sekolah untuk cap tiga jari. Cerdas tapi caranya terlau cepat juga norak, dan saya tahu kalau beliau juga modus. Sehinga saya beralibi “Aku tak bawa ponsel ke sekolah Mas” beliau menjawab “Kan pulangnya bisa SMS Dik” saya tak sanggup mengelak lagi terpaksa kuberikan nomor ponselku. 

*******

Di kampung seberang jauh terpisah oleh dimensi jarak, arah itu selalu memanggil angin selatan untuk berhembus menebarkan kehangatan di seluruh wilayahnya. Kampung itu terletak di sentra kecamatan sebelah, di pertigaan jalan awal menuju kampung itu berdirilah masjid. Mesjid yang berkubah hijau
berpiringan emas, bertuliskan gelombang abjad hijaiyah penuh dengan makna. Berarsitektur lokal tapi kualitas Serambi Mekah dengan empat menara di setiap sudutnya, kubistis macam dadu di bangunan induknya. Asri dan mudah tapi elegan.

Malam 1 Suro bagi para petuah kampung atau pemilik ilmu lintrik yang melekan (tidak tidur semalaman) bersama untuk pelbagai tujuan mistik. Anehnya malam ini menjadi misteri bagi seorang sisiwi Sekolah Menengan Atas itu. Dia bukan petuah kampung apalagi dukun tapi ia turut melekan sendian di kamarnya. Ternyata penyakit insomnianya yang sering kambuh itulah penyebabnya, penyakit yang selalu menghampiri dikala malam tanpa salam ataupun permisi, tanpa pamit jikalau kembali.

Hal ini yang membuatnya jengkel, sesak di hatinya mencokolkan aneka macam tanda tanya lenkap dengan jawabanya “Akankah saya ini galau merana ?” “Bagainana bisa galau pacar saja saya tak punya” “Akankah saya gila depresi, tegangan, regangan atau yang lainnya ?” “Mungkin saja” “Apa penyebabnya?” “Hanya dirimu yang sanggup menjawabnya”.

Ia memejamkan mata, kemudian terperanjat seolah melihat tatapan gadis berkerudung cuklat kurma dngan kalung merah putih di lehernya pada waktu UTS lalu. Ia mengenakan ransel Alto hijau sedikit kombinasi warna grey dan yah sepatu sport hitam denan sol hijau ukuran mungil tampak serasi. Ia masih ingat pantulan putih abu-abu yang ia kenakan di kornea bening milik gadis itu. Bagi Lyan mata gadis itu seindah rembulan di masa 15, ya 15 sama ibarat umurnya sekarang.

Tapi yang disayangkan dalam hati Lyan dan sekaligus menjadi tema demonstrasi kepada takdir “Mengapa ia jadi abang kelasku” ungkap Lyan. Protes yang dilakukannya untuk memperjuangkan haknya dimata takdir, mulai pudar alasannya ialah ia teringat dikala gadis itu diejek oleh teman-temannya alasannya ialah gadis itu tersandung dan salah tingkah dikala melihatnya. Bibir yang elok dengan pipi bagai sautas bianglala di langit senja, pandangnya merunduk dengan khusuk alasannya ialah malu. Lyan begitu terkesima ”Aduh aloknya” hatinya selalu mengucapkan itu meski lisan Lyan tak pernah mengakui kalau ia jatuh cinta.

*******

Semburan jingga sang surya menelisik daun cemara,butiran embun meluncur dari mahkota tulip yang semi di bulan Oktober.kehidupan memekar seiring sinar yang kuasa di ufuk timur. Dewa surya mulai meninggi menyundul kegelapan, mulai mengawasi kedelapan mata angin di atas singgasananya. Benang-benang janur kuning telah tergerai di beranda rumah nenek. Bibiku akan melangsungkan ijab qobul tuk memenuhi sunnah Rosul saw. Keluarga besar, kerabat dekat dan kerabat jauh berkumpul, untuk meremajakan tali silattuhrrrahmi yang sempat kendor.

Barjajar meja kursi bergaun indah nan permai barjajar rapi, lengkap dengan singgasana raja dan ratu yang megah dengan jubah kasih sayang. Semua itu milik sepasang manusia yang menyambut lembaran gres nan mewangi dan siap tergores oleh tinta emas suka sedih kehidupan. Berlapis tabir seolah
menudungi desa kami tak ada tanda gigi taring badai. Sekelebat bayang-bayang warna mocca dibalik kuning gading yang mendominasi. “Mas Adi itukah kau? Ah tak mungkin itu hanya ilusiku.” Hatiku meyakinkan.

“Miftaaa tolong belikan tiga dus Aqua untuk mengisi kotak penganan walimatul ursyi !” panggil Budhe Indah. “Ya budhe, tapi saya tidak bisa membawa tiga kardus sekaligus kalau sendirian” budhe menimpali “Tenang, Mas Iqbal akan mengantarmu! Budhe tidak akan membiarkan keponakan kesayangan budhe kerepotan” “Budhe bisa aja” “Ini uangnya jangan hingga hilang” ”Okay budhe”. Dalam hati saya bertanya “Bagaimana ya kini Mas Iqbal masihkah ia usil ibarat dulu dan apakah ia masih suka memanggilku dengan sebutan Sincan Mi (Si Cantik Mifta)” ih geli rasanya kalau ingat enigma itu.

Enigmaku menjadi dej4veu ketika kudengar “Dik ayo!”lalu bunyi panggilan itu“Sincan Mi ayo naik!”. Aku masih belum membalikkan badanku padahal nostalgiaku sudah berakhir, pikirku mulai berkcaamuk bagai pertempuran arek-arek Suroboyo dengan tentara kompeni. Bermilyar kata maaf ingin kuucap pada Mas Iqbal, dikarenakan telah usang tidak pernah berkunjung ke rumahnya semenjak polemik diriku dengan monyet tetangganya itu. Aku sempat pobia stadium empat alasannya ialah kakiku tercengkram sampai-sampai lima orang tak bisa untuk memisahkan cengkraman anak monyet itu dari kakiku. Yang terang saya menangis hingga mengaburkan orang sekampung, mungkin dikala itu usiaku lima tahun.

Kubalikkan badanku, pada detik itulah saya tersayat sembilu tanda tanya besar. Aku terperanga “Mas Adi” tanpa kuminta menjawab ia berkata ”Iya Dik, ternyata kita sepupu. Makanya tempo hari kau meminta nomor Hp kau alasannya ialah ibuku tidak punya nomor Hp Bulek.”. Aku masih tak percaya, jadi selama ini beliau tahu kalu cinta ini terlarang. Bombardir pertanyaan menyerbuku, “Apakah ia gres tahu kalau saya sepupunya pada bulan ini?”, “Tapi mengapa ia tidak pernah menyapaku dikala di sekolah dulu? ”, “Mengapa? Bagaimana? Kapan? Dimana?”. Aku telah kalah oleh peluru pertanyaan dalam benakku, tiba-tiba gigi angin kencang menampakkan peringissannya. Langit gelap guntur merajalela tak ada setitik pelita untukku, saya terjerembab dalam alamku.

 *******

Hari sabtu ialah hari senang bagi orang lain, kecuali saya hari ini hari paling membosankan. Aku pulang sekolah pribadi menuju parkiran, tak ibarat biasa menunggu teman-teman atau sekedar ngegosip anak pacaran. Langkahku gontai menuju jajaran motor yang simpang siur kurang rapi, alangkah apesnya diriku mengambil sepeda saja keliru dengan sepeda temanku yang kebetulan modelnya sama.Mataku lebam akhir kurang tidur, hidungku merah akhir menangis semalaman.

Kunyalakan motor maticku dengan menajap gas yang terlalu tinggi sma ibarat hatikuyang terkena tegangan terlalu tinggi. Kemudian Bruak......kuterjang tiang parkiran dan sedikit menjumping bersama motorku. Aku terjatuh dan tak bisa berdiri lagi, tapi kuharus menahan sepedaku semoga tidak lecet. Pandanganku kosong dengan setengar sadar akibat shock, kemudian Mas Iqbal tiba menegakkan sepedaku, tapi mengapa ia menggunakan baju batik kelas sepuluh? Lambat syarafku membawa pesan bahwa anak leleki itu ialah adik kelasku. Tangannya meraihku sehingga saya sanggup berdiri tegap, kemudian kuperiksa motorku dan Alhandulilllah tak ada yang lecet.

Kuucapkan “Makasih ya.... Berlyaan Puutra Fassssesa” kueja formasi alphabet di nama identitasnya dengan uraian senyum, meski hatiku telah menguap bersama carbon dioksida. Kemudian ia juga mejawab “Sama-sama” dari matanya kutemukan puisi

Dendritku seolah menerjemahkan cintamu yang tersandi

Ke tubuh sel ini mulai mengartikan

Sehingga syaraf kalbu ini mengerti

Tapi masih timbul tanda tanya

Di dalam otak kanan ini

Apakah cintamu sebesar ombak pantai selatan

Anehnya senyumnya tak pernah pudar semenjak ia menegakkan motorku, pandangan kami kini masih bertemu tapi tidak melebihi delapan detik. Entah kenapa otakku refleks akhir pandangannya pada tempo 8 detik itu :

Cintaku besar kolam ombak yang terpecah di samudra

Tetap semangat dalam mengartikan sandi suci itu

Dirimu takkan jauh dari hatiku

Tapi belum hingga waktu kita bertemu

Bersabarlah dulu Boi

Aku takkan membiarkanmu

Mati dalam keharuman cintaku

Sekian ihwal Cerpen Cinta MASIH TANDA TANYA. Semoga bermanfaat buat kita semua. Terima kasih, salam RAJEB GROUPS


Wassalamu'alaikum


Sumber http://rajebgroups.blogspot.com