Elysetiawan.com kuliah Kampus Swasta, bisakah kuliah diluar negeri? itu yang sering saya pikirkan dan kutanyakan pada diriku sendiri. ditambah lagi saya sangat kurang sekali kemampuan dalam berkomunikasi dan berorganisasi.aku juga sering berpikir apakah berorganisasi bagi mahasiswa itu penting ?
semangat tiba ketika sedang berselancar di grup grup facebook hingga alhasil saya menemukan Postingan artikel yang dishare digrup facebook forum mahasiswa universitas terbuka indonesia. kerana menarik alhasil saya klik link tersebut.
link tersebut mengarah kesebuat web yaitu https://schoters.com. isi artikel tak kuduga sangatlah menginspirasi dan menciptakan motifasi saya untuk tidak patah semangat semakin naik.
artikel berkisah ihwal usaha Wahidatul Mukarammah atau biasa dipanggil ida yang tinggal di salah satu kota kecil di sebelah timur Indonesia, tepatnya di kepulauan Nusa Tenggara.dalam menggapai mimpinya kuliah diluar negeri.
![]() |
Wahidatul Mukarammah |
Perkenalkan, namaku Wahidatul Mukarammah. Panggil saja saya Ida. Dulu, Aku tinggal di salah satu kota kecil di sebelah timur Indonesia, tepatnya di kepulauan Nusa Tenggara. Aku lahir dan tumbuh di tempat yang penuh dengan keterbatasan. Yah, mungkin tidak menyerupai teman-teman di kota besar. Di kotaku, bahkan tidak ada tempat bimbel Bahasa Inggris. Padahal cita-citaku tinggi sekali ketika sedang studi S1, Aku ingin melanjutkan kuliah ke luar negeri dengan Beasiswa.
Aku sangat murung dengan keterbatasan kondisi kesehatanku yg tidak stabil pada ketika itu, saya sering jatuh sakit hingga alhasil sulit untuk melaksanakan aktifitas. Perjuanganku untuk bisa kuliah ke luar negeri dan sanggup beasiswa amatlah berat. Apakah saya mengalah pada keterbatasan dan kekuranganku? Tidak sama sekali. Aku dilarang menyerah. Keterbatasan ini yaitu sebuah tantangan yang harus kulalui untuk mewujudkan mimpiku.
ku yaitu anak pertama dari 6 bersaudara. Sebagai anak pertama, orang tuaku mempunyai harapan yang tinggi padaku. “Aku harus jadi perempuan yang kuat!” itulah yang selalu saya katakan pada diriku sendiri.
Meskipun saya terlahir dari keluarga yang tidak berkecukupan, tapi orang tuaku sangat memprioritaskan pendidikan bagi anak-anaknya. Ayah ibuku mendorongku untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Dan saya ingin sekali kuliah di luar negeri. Aku ingin melihat dunia.
“Aku harus jadi perempuan yang kuat!” itulah yang selalu saya katakan pada diriku sendiri.
Setelah lulus SMA, saya melanjutkan kuliah S1 di Surabaya. Aku merasa, saya harus pindah ke kota besar, terutama yang ada di Jawa. Karena waktu itu, kanal pendidikan di kotaku masih sangat terbatas.
Waktu SMA, saya yaitu anak IPA. Karena saya suka membaca buku-buku terkait bisnis alhasil saya mulai jatuh cinta pada dunia bisnis. Karena itulah sesudah lulus SMA, saya melanjutkan kuliah S1 jurusan bisnis di salah satu universitas swasta di Surabaya. Universitas asing, yang kuliahnya saja memakai Bahasa Inggris, biayanya? Jelas, tidak murah.
api sayangnya sesudah 1 semester berlalu, izin operasional universitas tempatku kuliah dicabut, hingga menjadikan semua rombongan mencar ilmu dibubarkan. Aku sangat murung sekali ketika itu. Karena itu, saya harus menunggu hingga tahun depan, untuk daftar ke universitas lain.Beruntungnya, sesudah 6 bulan tidak kuliah, saya mendapat beasiswa berupa kuliah gratis selama 4 tahun di salah satu universitas swasta terbaik di Jakarta jurusan Perbankan Syariah. Aku kembali aktif menjadi mahasiswa baru. Rasanya, saya sangat senang sekali.
Namun ujian kembali datang, gres 1 semester saya menjalani kehidupan yang menyenangkan, saya didiagnosa oleh dokter bahwa saya menderita penyakit tifus parah. Dokter memintaku beristirahat total (bedrest) selama 6 bulan penuh. Jika tidak, penyakitku akan bertambah parah.
Aku dilema. Aku resah harus berbuat apa? Sampai alhasil pihak universitas memberiku 2 pilihan: tetap aktif kuliah sebab beasiswa menuntutku untuk lulus sempurna waktu 4 tahun, atau melanjutkan bedrest hingga sembuh total tapi beasiswaku dicabut?
Aku sungguh frustasi. “Ujian apalagi ini, Tuhan?” batinku.
Hidup yaitu pilihan dan saya menentukan untuk fokus pada masa penyembuhanku. Akhirnya orang tuaku membawaku pulang, kembali ke kota kelahiran. Setelah berjuang untuk sembuh, Tuhan mengizinkanku sembuh. Di tahun berikutnya, saya kembali kuliah, kali ini saya kuliah di salah satu universitas swasta yang akrab dengan rumahku. Alasannya, supaya kesehatan-ku tetap terpantau oleh kedua orang tuaku. Saat itu berat sekali rasanya, ketika teman-teman seusiaku ketika ini sudah memasuki semester 5, saya malah jadi mahasiswa gres (semester 1), bahkan untuk ketiga kalinya. Tapi sekali lagi, mengalah bukanlah pilihan hidupku.
Justru sebab hal itulah mimpiku semakin membesar “Walau saya tertinggal jauh dengan teman-teman seusiaku, tapi saya ingin menjadi orang pertama yang pribadi melanjutkan studi S2 nanti!” janjiku dalam hati.
Tapi sekali lagi, mengalah bukanlah pilihan hidupku.Dengan usaha kerja keras, pantang mengalah dan komitmen diri, alhasil saya lulus dengan IPK Cumlade yaitu 3.79. Dengan IPK tinggi menciptakan keyakinanku bertambah untuk bisa kuliah di luar negeri.
Setelah lulus kuliah akupun menambah porsi mencar ilmu bahasa inggris dan mengikuti kelas IELTS Preparation di Kampung Inggris Pare, Kediri selama 2 bulan. Tepat sesudah 2 bulan mencar ilmu IELTS saya pun berangkat ke Jogjakarta untuk mengikuti test IELTS.
Pagi harinya ketika test IELTS, saya mengerjakan soal listening dengan lancar. Namun ketika memasuki sesi reading tiba-tiba saya merasa pandanganku kabur. Akupun ijin ke toilet untuk membasuh muka. Tapi selangkah, dua langkah berjalan di depan pintu ruangan tes IELTS saya ambruk dan pingsan . Aku merasa kesempatanku untuk mendapat nilai IELTS yang sesuai standar kampus luar negeri hilang.
Saat diperiksa ke rumah sakit, kata dokter saya harus naik meja operasi usus buntu dan harus istirahat selama 3 bulan. Aku syok mendengarnya akan tetapi saya punya kabar baik, test IELTS bisa dilakukan ulang sesudah 3 bulan.
Waktu istirahat 3 bulan, saya manfaatkan sebaik baiknya mencar ilmu di rumah. Hingga alhasil test IELTS (yang diulang) pun tiba, akupun bisa mendapat IELTS 6. Angka yang harus kusyukuri, meski saya punya kekhawatiran lain. Sepengetahuanku untuk S2 di luar negeri membutuhkan IELTS 6.5.
Akupun mulai mempersiapkan untuk mendaftar kuliah di luar negeri. Saat saya mulai mendaftar beasiswa kendala tiba terus kepadaku. Aku awalnya ditolak ketika mendaftar beasiswa sebab legalisasi kampus dan jurusanku pada waktu itu yaitu C. Aku mencoba mendaftar tapi terus gagal, apakah ini juga sebab saya tidak aktif berorganisasi, pikirku.
Akupun mengubah taktik mendaftar beasiswa. Akupun tidak mendaftar beasiswa yang ditujukan khusus warga negara Indonesia. Aku lebih menentukan beasiswa internasional untuk beberapa negara. Akupun juga mencari prioritas beasiswa untuk kaum perempuan.
Akhirnya kutemukan beasiswa NFP (Nederlands Fellowship Program), ketika ini berganti nama menjadi OKP (Orange Knowledge Program). Sebelum mendaftar beasiswa saya mengumpulkan seluruh gosip ihwal cara pendaftaran. Ternyata saya gres mengetahui bahwa untuk mendaftar beasiswa tersebut, saya harus mendapat Letter of Acceptance (LoA) terlebih dahulu dari kampus-kampus yang berhubungan dengan pemerintah Belanda. Bisa di lihat Studyfinder.nl.
Semua Perjuangan Berakhir Manis
Tahun ke 2 ketika akta IELTS-ku hampir kadaluarsa, alhasil yang sesuatu yang kutunggu-tunggu, email lolos beasiswa pun tiba. Perasaanku sangat bahagia. Rasa bahagiaku tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Hanya rasa syukur yang kupanjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa.
Akupun mencicipi akad yang kuasa itu yaitu pasti. Setiap usaha akan menuai hasil. Aku yang tumbuh di tempat yang penuh dengan keterbatasan sekarang bisa menginjakan kaki di tanah Eropa.
Sahabat, janganlah takut untuk bermimpi. Teruslah berjuang dan gapai mimpimu. Karena setiap orang mempunyai kesempatan yang sama. Tinggal diri sendiri yang akan menentukannya sobat.
Selamat berjuang dan semoga berhasil.
sumber artikel https://schoters.com
Sumber http://www.elysetiawan.com