Introduction
Pada teknik pengukuran Sb (antimony) mengalami kesulitan dalam hal pengenceran sampelnya, dan hal ini pada umumnya jarang, kalau dibandingkan dengan Pb dan Hg. Pada ketika ini teknik – teknik yang pada umumnya dipakai yaitu HG-AFS, ICP-MS, HG-AAS, dan INAA.
INAA mempunyai batas deteksi yang cukup rendah. Namun, hasil yang didapat untuk pengukuran Sb dalam sampel pre-anthropogenic kurang akurat pada limit deteksi pada rentang konsentrasi yang rendah. Pada pengukuran Sb dalam sampel pre-anthropogenic dengan konsentrasi rendah rata-rata limit deteksinya hanya 8 ± 3 ng Sb l-1. Teknik ini sangat boros dalam hal pengambilan sampel .
Pada teknik HG-AAS mempunyai keterbatasan dalam hal deteksi dan membutuhkan sensitifitas yang lebih tinggi pada penentuan Sb pada sampel ibarat peat ( tanah gemuk).
Teknik ICP-MS dikenal sebagai teknik dengan sensitivitas yang tinggi dan sanggup memilih beberapa sampel sekaligus. Dan juga memerlukan energy ionisasi Sb yang cukup tinggi sehingga kurang baik dalam penentuan Sb dalam sampel organik. Deteksinya cukup rendah (2,5 ng Sb l-1 dan 0,7 ng Sb l-1 ) dalam penentuan Sb dalam sampel air biasa dengan metoda hydride generation atau pre-concentration. Namun, tetap saja kurang baik pada penentuan Sb dalam sampel organik.
Dalam waktu erat ini telah dikembangkan teknik HG-AFS. Penentuan Sb dalam sampel peat dengan mekanisme analitik yang sensitif dan cukup baik. Metoda hydride generation dari Sb memakai NaBH4 dan HCl. Pengencerannya dengan menggunkan asam nitrat, hidrogen peroksida dan asam tetraflouroborit (HBF4) dengan pengenceran closed-pressurized dalam microwave oven. Kemudian adonan sampel dicairkan dengan air (kemurnian tinggi), setelah itu dicampurkan dengan L-Cystein untuk mereduksi Sb(v) dalam campuran, dan yang terakhir diencerkan dengan HCl untuk pengukuran. Keakuratan dan ketelitian dari hasil dengan mekanisme ini di sanggup <3%.
Pada HG-AFS yang telah dikembangkan dengan meningkatkan secara optimal eksperimen, limit deteksinya diperoleh jauh lebih rendah (2 ng Sb l-1) dari sebelumnya (8 ng Sb l-1).
Prosedur Percobaan
1) Instrumen
· PTFE bertekanan yang tertutup dalam panggangan mikrowave
· Generator hidrida AFS
2) Bahan Kimia dan Standard
· Air (dengan kemurnian tinggi, 18,2 MΩ cm)
· Asam nitrat (65%)
· Hydrogen peroksida (30%)
· Larutan asam tetrafluoroborik (HBF4 50%)
- Untuk GH-AFS, larutan pembawa disiapkan dari asam klorida (32%), larutan NaBH4 (1,0% m/v) yang disiapkan dalam sejumlah bubuk NaBH4 dalam 0,04% (m/v) NaOH.
- Larutan yang mengandung 1 mg Sb (III) L-1 disiapkan dari konsentrasi standard Sb (III) yang mengandung 1000 mg L-1 yang dipakai untuk kalibrasi.
- Larutan Sb (V) disipkan dari kalium heksahidroksoantimonate (V). antimony direduksi menjadi Sb (II) dengan lautan yang mengandung 1 gram L-1 L-cystein.
3) Material Sampel dan Referensi
Akurasi dan presisi memakai beberapa material tumpuan untuk mengetahui konsentrasi Sb.
4) Prosedur Penyiapan Sampel
Alikuot (200 mg) bubuk material tumpuan atau sampael peat dalam 100 ml PTFE. Asam nitrat (3 ml) ditambahkan pada bubuk tadi dan diaduk. Lalu tambahkan 0,5 ml H2O2 dan 100 mL HBF. Setelah dimasukkan dalam PTFE, sample dikeringkan dalam panggangan microwave dengan heating jadwal yaitu: 1) menaikkan suhu dari suhu kamar ke 80º C dalam 7 menit dengan energi output maksimum 300 W. 2) 80-120 º selama 8 menit dan diamkan selama 10 menit pada energi maksimum 500 W. 3) 120-220 º selama 5 menit dengan energi maksimum 1000 W. 4) dinginkan hingga suhu 60 º dalam 40 menit.
Setelah hingga suhu kamar, larutan diambil 10 ml dan tambahkan air dengan kemurnian tinggi. Asam nitrat 3 ml dan hirogen peroksida ditambakan pada PTFE yang dipanaskan dalam panggangan microwave yang didikuti heating program: 1) suhu kamar- 220 º dalam 20 menit dengan energi maksimum 1000 W. 2) dinginkan hingga suhu 60 º dalam 40 menit.
Penentuan stibium oleh HG-AFS dilakukan dengan alikuot (2-10ml) larutan dengan piprt volum. Lalu larutan L-cystein 1 ml (50 g L-1) ditambahkan sebelum dipipet 50 ml dengan 4 mol L-1 HCl.
5) Penentuan Antimoni
Stibium digenerasi dalam larutan NaBH4 (1,0% m/v) yang telah distabilkan dengan 0,04% m/v NaOH dan 4 mol L-1 HCl sebagai larutan pembawa. Larutan analit (laju alir 9 ml/menit) dan larutan pembawa (NaBH4, laju alir: 4,5 ml/menit: HCl, laju alir 9 ml/menit) dipompa kemudian sample dikocok. Larutan sample disiapkan dalam medium HCl dengan konsentrasi yang sama dengan HCl larutan pembawa. Kocok larutan da alirkan separator gas-cair dimana gas hidrida dilewatkan pada atom pembakar dari AFS. Lampu katoda bosted discharge hollow (BDHCL) dari stibium dipakai dalam seluruh percobaan.
6) Optimasi
· Waktu pemanasan minimum untuk system AFS
· Konsentrasi NaBH4 dalam larutan pembawa
· Konsentrasi HCl dalam larutan sample dan larutan pembawa
· Kondisi sebelum reduksi untuk generasi stibium
· Waktu yang bergantung dari tahap sebelum reduksi
· Efek penambahan HBF4
Hasil dan Diskusi
Optimisasi parameter pengukuran HG-AFS
Untuk menghasilkan hasil analisis terbaik memakai HG-AFS pada penentuan kadar Sb dalam sampel tumbuhan dan tanah dilakukan meningkatkan secara optimal parameter fisika dan kimia. Ukuran puncak ditentukan dari area puncak alasannya kalau memakai tinggi puncak sensitivitasnya 20 kali lebih rendah dibandingkan kalau memakai area puncak. Pada ketika konsentrasi Sb lebih rendah dari 200 ng/L standar deviasi relatif (RSD) pengukuran kalau memakai tinggi puncak antara 8-69% sedangkan kalau memakai area puncak menghasilkan RSD dibawah 1%.
Kecepatan pompa
Kecepatan pompa atau laju alir reagen penting alasannya sanggup mengontrol reaksi kimia pada pembentukan hidrida. Pada system HG-AFS yang bekerja rasio antara laju alir asam dan sample didesain kira-kira dua kali terhadap laju alir natrium tetrahidroborat. Laju alir analit dan HCl ialah 9 mL/min diameter tabung pompa 1 mm sedangkan laju alir natrium tetrahidroborat 4,5 mL/min memakai jenis tabung yang sama. Pola laju alir yang dipakai bertujuan untuk mendapat stabilitas sinyal terbaik dan meminimalkan gangguan koheren.
Perubahan Background
Gangguan background pada system pengukuran awal larutan blanko mengandung HCl tanpa Sb. Background dari AFS tidak konstan secara keseluruhan pada rangkaian quantifikasi tunggal. Sebab perubahan background terhadap waktu bergantung pada intensitas dari BDHCL, suhu sel analit, konsentrasi NaBH4 atau HCl pada larutan pembawa, konsentrasi reagen pre reduksi atau asam nitrat pada larutan sample, gangguan inheren dalam system dan sebagainya. Waktu pemanasan harus dikurangi 15 menit lebih cepat dari waktu pemanasan BDHCL untuk minimal 1 jam pada pengukuran larutan blanko, dengan RSD lebih rendah dari 0,5% untuk perubahan background. Suhu sel analit merupakan parameter kritis yang lain. Intensitas fluoresensi berubah ketika suhu sel analit relatif rendah. Setelah pembakaran hydrogen dilakukan, 15-20 menit untuk sel analit mencapai suhu yang stabil, menjelaskan mengapa diperlukan 15-20 menit setelah BDHCL dipanaskan.
Konsentrasi HCl dan NaBH4
Larutan yang mengandung Sb(III) dengan konsentrasi 100 ng/L dipakai pada semua mekanisme optimisasi ini. Pada ketika system HG-AFS sedang bekerja, konsentrasi NaBH4 dan HCl harus cukup besar tidak hanya untuk membentuk stibine dari larutan analit tapi juga cukup untuk menyiapkan hydrogen untuk mendukung nyala pada proses pengatoman. Kriteria yang dipilih untuk kondisi operasi yang optimum didasarkan pada rasio signal-background yang maksimum.
Pengaruh konsentrasi HCl diketahui dalam rentang 2,5-6 M memakai NaBH4 12% (v/v). Hasilnya mengatakan bahwa baik intensitas sinyal fluoresensi maupun background hanya meningkat secara marginal ketika konsentrasi asam divariasikan dari 3,5 hingga 5 M. Pada konsentrasi HCl dalam analit lebih rendah dari 3 M nyala atomisasi menjadi tidak stabil, sementara pada konsentrasi HCl yang lebih tinggi dari 5,5 M secara signifikan meningkatkan background.
Optimisasi konsentrasi NaBH4 dibentuk antara 0,7 da 14% (m/V) memakai HCl dengan konsentrasi 4 M. Hasilnya mengatakan bahwa konsentrasi NaBH4 besar pengaruhnya terhadap intensitas fluoresensi dan background.
Limit deteksi untuk penentuan Sb pada sample tanah dan tumbuhan pada percobaan ini mencapai 8 ng/L pada kondisi percobaan yang optimum. Sebagai perbandingan limit deteksi 800 ng/L dari Sb (III) untuk spesi antimony dan 80 ng/L untuk penentuan antimony total dengan metode sayago et al dan De Gregori et al. Deteksi limit yang lebih tinggi tersebut mengatakan bahwa mekanisme percobaan tidak dioptimasi dengan baik. Deng et al melaporkan bahwa dengan kondisi percobaan memakai generator hidrida yang mereka lakukan, dengan NaBH4 0,7 % (m/v) dan HCl 3 M, limit deteksi yang sanggup dicapai sebesar 10 ng/L.
Pre-reduksi dari Sb(V) ke Sb(III)
Prosedur kuantitatif pre-reduksi Sb(V) menjadi Sb(III) sulit dilakukan lantaran Sb(V) merupakan spesies yang lebih banyak didominasi pada keadaan oksidasi yang rendah dalam larutan. Jika konsentrasi Sb(III) dalam larutan rendah maka akan gampang teroksidasi menjadi Sb(V). Pada eksperimen ini dibentuk larutan standar Sb(III) yang sensitivitasnya hampir sama dengan Sb(V), yaitu pre-reduksi oleh L-sistein.
Dari percobaan diketahui untuk menciptakan larutan standar Sb(III) yang mempunyai respon dan sensitivitas yang baik diperlukan paling sedikit 0,05 g l-1 l-sistein untuk mereduksi Sb(V). Konsentrasi L-sistein yang tinggi akan meningkatkan efisiensi proses pre-reduksi.
Efisiensi waktu pre-reduksi sanggup dilihat dengan menggunaka dua konsentrasi L-sistein yang berbeda untuk larutan daun tobbaco. Dengan 0,2 g l-1 L-sistein diperlukan 30 menit untuk pre-reduksi hingga mencapai kesetimbangan. Jika memakai 1,0 g l-1 L-sistein waktu pre-reduksi sangat singkat. Setelah waktu pre-reduksi mencapai 5 menit, sinyal menjadi stabil. Konsentrasi L-sistein yang tinggi tidak menimbulkan kenaikan background tetapi rasio sinyal/background menjadi lebih besar. Dalam masalah ini, 1,0 g l-1 L-sistein merupakan konsentrasi yang efisien untuk preduksi Sb(V) menjadi Sb(III).
HBF4 untuk Melepaskan Sb dari Silika
Sample batuan dan dedaunan hanya sanggup dilarutkan dengan HNO3 yang selalu mengandung silika. Silika tersebut sanggup mengganggu pengukuran ketika memakai HG-AAS. Untuk memisahkan silika tersebut biasa dipakai HF. Akan tetapi, cara ini tidak dilakukan kareana alasan keamanan. Selain itu, kalau HF dipakai berlebih akan mengganngu energi potensial Sb dan sanggup menurunkan sinyal fluorosesnsi dari Sb.
Pada percobaan ini dipakai HBF4 untuk menghilangkan gangguan silika lantaran HBF4 hanya menimbulkan gangguan yang tidak signifikan pada potensial dibanding HF.
Karakteristik dari prosedur
Limit deteksi dari larutan merupakan jumlah konsentrasi yang sesuai dengan tiga kali standar deviasi dari 10 larutan blanko, dan limit kuantifikasi menurut sepuluh kali standar deviasi. Sensitivitas sanggup dilihat dari slope kurva kalibrasi dan kepresisian dinyatakan sebagai relaif standar deviasi (RSD) dilakukan dengan menganalisis larutan yang mengandung 100 ng l-1 Sb(III) (n =6). Kurva kalibrasi akan linier dari 0-500 ng l-1, dan koefisien korelasi selalu lebih baik dari 0,999. konsentrasi Sb yang tinggi tidak dianggap sanggup menghindari kontaminasi dari setup HG-AFS.
Kontrol Kuallitas
Konsentrasi dari Sb yang ditentukan dengan HG-AFS dilaporkan dalam table berikut :
Table 3 Concentrations (ng g21 dry mass) of Sb in plant reference |
materials and in-house peat reference materials determined by HG- |
AFS (n ¢ 3) |
|
|
|
Reference material |
Found |
Certified |
|
|
|
BCR CRM 281 Rye Grass |
49 ¡ 9 |
47 ¡ 5 |
CTA-VTL-2 Virginia Tobacco Leaves |
321 ¡ 10 |
312 ¡ 25 |
GBW 07602 Bush Branches and Leaves |
73 ¡ 11 |
78 ¡ 15 |
SRM 1515 Apple Leaves |
10 ¡ 3 |
(13)a |
SRM 1547 Peach Leaves |
21 ¡ 2 |
(20)a |
Peat 1 |
307 ¡ 8 |
287 ¡ 17b |
Peat 2 |
64 ¡ 3 |
70 ¡ 5b |
aIndicative value. bInformation values |
obtained using |
HG-AAS |
Konsentrasi Sb dalam materi yang berbeda bervariasi dari 13 – 330 ng g-1 . Pada sample daun apel dan daun peach konsentrasi Sb yang ditunjukkan sangat rendah, tetapi hasil mengatakan anggun dengan alat HG-AFS. Dengan alat ini sanggup dipakai untuk memilih konsentrasi Sb yang sangat rendah dan dalam matriks yang rumit.
Hasil dari Sampel Tanah yang sudah Tua
Pada sample ini dilakukan dua analisis dengan dua alat yang berbeda. Alat yang dipakai yaitu HG-AFS dan INAA. Dengan metode memakai HG-AFS sangat sensitif, sehingga sanggup dipakai untuk semua sampel tanah yang sanggup dipakai untuk materi bakar. Sedangkan dengan INAA tidak cukup sensitif.
Akhirnya untuk mengevaluasi kemungkinan matriks garam maritim pada pengukuran Sb, larutan diencerkan dari 250 menjadi 1250 kali, dan pengukuran Sb diukur drngan HG-AFS. Hasil mengatakan bahwa konsentrasi Sb tidak terikat pada faktor pengenceran. Maka dalam mekanisme analitis haruslah sempurna, tepat walaupun dalam matriks yang rumit yang mengandung konsentrasi Sb yang rendah sekali.
Kesimpulan
Dalam penentuan kadar Sb dalam tanah untuk materi bakar, prosedurnya didasari oleh generate spektrofotometer fluoresensi atom. Deteksi limit dari Sb pada percobaan yaitu 8 8 ng g-1 dalam larutan ; dan 20 ng g-1 dalam sampel padat ibarat tanah. HNO3 dalam percobaan dipakai untuk melarutkan atau menghancurkan sampel, kemudian diuapkan untuk mencegah larutan menguap sehingga teroksidasi. Proses penghancuran dengan HG-AFS mgngakibatkan tidak adanya efek dari matriks dalam penentuan kadar Sb dalam konsentrasi yang sangat rendah. Tidak hanya laba dalam menghemat waktu, dan uang tetapi resiko terkontaminasinya sampel berkurang, dan kualitas kontrol dalam prosedur, menghasilkan keakuratan data.
Sumber http://koleksiperpustakaan.blogspot.com