Wednesday, December 20, 2017

√ Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Di Indonesia

Undang-Undang Ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003 – Ketenagakerjaan di Indonesia menjadi isu penting yang ada di Indonesia. Pemerintah tentu menargetkan supaya angka pengangguran di Indonesia menjadi turun. Hal-hal terkait ketenagakerjaan di Indonesia dijelaskan dalam UU No 13 Tahun 2003 wacana Ketenagakerjaan.


Secara umum, undang-undang tenaga kerja yang paling utama ada pada UU No. 13 Tahun 2003. Undang-undang ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003 membahas hal-hal terkait duduk perkara tenaga kerja di Indonesia, yang dijabarkan pada beberapa potongan dan pasal-pasal.


Beberapa hal yang dijelaskan dalam undang-undang ketenagakerjaan terbaru tersebut contohnya yaitu pengertian tenaga kerja, peluang dan kesempatan kerja yang ada, training kerja, penempatan tenaga kerja, penggunaan tenaga kerja aneh (TKA), kekerabatan kerja serta pemutusan hubunan kerja (PHK).


Nah untuk itu di bawah ini akan dijelaskan mengenai undang-undang ketenagakerjaan no. 13 tahun 2003 secara lengkap dan detail menyerupai dikutip dari situs Kementrian Perindustrian Republik Indonesia (Kemenperin RI).


(baca juga UU No. 12 Tahun 2011)


 Ketenagakerjaan di Indonesia menjadi isu penting yang ada di Indonesia √ Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 di Indonesia


Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003


UNDANG-UNDANG TENTANG KETENAGAKERJAAN.


BAB I

KETENTUAN UMUM


Pasal 1


Dalam undang undang ini yang dimaksud dengan :



  1. Ketenagakerjaan ialah segala hal yang bekerjasama dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sehabis masa kerja.

  2. Tenaga kerja ialah setiap orang yang bisa melaksanakan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.

  3. Pekerja/buruh ialah setiap orang yang bekerja dengan mendapatkan upah atau imbalan dalam bentuk lain.

  4. Pemberi kerja ialah orang perseorangan, pengusaha, tubuh hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

  5. Pengusaha ialah :

  6. orang perseorangan, persekutuan, atau tubuh aturan yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;

  7. orang perseorangan, persekutuan, atau tubuh aturan yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;

  8. orang perseorangan, persekutuan, atau tubuh aturan yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam abjad a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

  9. Perusahaan ialah :

  10. setiap bentuk perjuangan yang berbadan aturan atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik tubuh hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;

  11. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

  12. Perencanaan tenaga kerja ialah proses penyusunan planning ketenagakerjaan secara sistematis yang dijadikan dasar dan pola dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan jadwal pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan.

  13. Informasi ketenagakerjaan ialah gabungan, rangkaian, dan analisis data yang berbentuk angka yang telah diolah, naskah dan dokumen yang mempunyai arti, nilai dan makna tertentu mengenai ketenagakerjaan.

  14. Pelatihan kerja ialah keseluruhan aktivitas untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta menyebarkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.

  15. Kompetensi kerja ialah kemampuan kerja setiap individu yang meliputi aspek pengetahuan, keterampilan, dan perilaku kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.

  16. Pemagangan ialah potongan dari sistem training kerja yang diselenggarakan secara terpadu antara training di lembaga training dengan bekerja secara pribadi di bawah bimbingan dan pengawasan pelatih atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu.

  17. Pelayanan penempatan tenaga kerja ialah aktivitas untuk mempertemukan tenaga kerja dengan pemberi kerja, sehingga tenaga kerja sanggup memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya, dan pemberi kerja sanggup memperoleh tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhannya.

  18. Tenaga kerja aneh ialah warga negara aneh pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.

  19. Perjanjian kerja ialah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.

  20. Hubungan kerja ialah kekerabatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.

  21. Hubungan industrial ialah suatu sistem kekerabatan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai nilai Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  22. Serikat pekerja/serikat buruh ialah organisasi yang dibuat dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.

  23. Lembaga kolaborasi bipartit ialah lembaga komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kekerabatan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja/ serikat buruh yang sudah tercatat instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.

  24. Lembaga kolaborasi tripartit ialah lembaga komunikasi, konsultasi dan musyawarah wacana duduk perkara ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah.

  25. Peraturan perusahaan ialah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat syarat kerja dan tata tertib perusahaan.

  26. Perjanjian kerja bersama ialah perjanjian yang merupakan hasil negosiasi antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.

  27. Perselisihan kekerabatan industrial ialah perbedaan pendapat yang menjadikan kontradiksi antara pengusaha atau adonan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh lantaran adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan kekerabatan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.

  28. Mogok kerja ialah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara bahu-membahu dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan.

  29. Penutupan perusahaan (lock out) ialah tindakan pengusaha untuk menolak pekerja/buruh seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan pekerjaan.

  30. Pemutusan kekerabatan kerja ialah pengakhiran kekerabatan kerja lantaran suatu hal tertentu yang menjadikan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.

  31. Anak ialah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun.

  32. Siang hari ialah waktu antara pukul 06.00 hingga dengan pukul 18.00.

  33. 1 (satu) hari ialah waktu selama 24 (dua puluh empat) jam.

  34. Seminggu ialah waktu selama 7 (tujuh) hari.

  35. Upah ialah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan berdasarkan suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.

  36. Kesejahteraan pekerja/buruh ialah suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar kekerabatan kerja, yang secara pribadi atau tidak pribadi sanggup mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang kondusif dan sehat.

  37. Pengawasan ketenagakerjaan ialah aktivitas mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang undangan di bidang ketenagakerjaan.

  38. Menteri ialah menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.


BAB II

LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN


Pasal 2


Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Pasal 3


Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral sentra dan daerah.


Pasal 4


Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan :



  1. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;

  2. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;

  3. memberikan pertolongan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan

  4. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.


BAB III

KESEMPATAN DAN PERLAKUAN YANG SAMA


Pasal 5


Setiap tenaga kerja mempunyai kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.


Pasal 6


Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.


BAB IV

PERENCANAAN TENAGA KERJA

DAN INFORMASI KETENAGAKERJAAN


Pasal 7


(1) Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, pemerintah memutuskan kebijakan dan menyusun perencanaan tenaga kerja.


(2) Perencanaan tenaga kerja meliputi :



  1. perencanaan tenaga kerja makro; dan

  2. perencanaan tenaga kerja mikro.


(3) Dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan jadwal pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan, pemerintah harus berpedoman pada perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).


Pasal 8


(1) Perencanaan tenaga kerja disusun atas dasar informasi ketenagakerjaan yang antara lain meliputi :



  1. penduduk dan tenaga kerja;

  2. kesempatan kerja;

  3. pelatihan kerja termasuk kompetensi kerja;

  4. produktivitas tenaga kerja;

  5. hubungan industrial;

  6. kondisi lingkungan kerja;

  7. pengupahan dan kesejahteraan tenaga kerja; dan

  8. jaminan sosial tenaga kerja.


(2) Informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diperoleh dari semua pihak yang terkait, baik instansi pemerintah maupun swasta.


(3) Ketentuan mengenai tata cara memperoleh informasi ketenagakerjaan dan penyusunan serta pelaksanaan perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


BAB V

PELATIHAN KERJA


Pasal 9


Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan menyebarkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan kesejahteraan.


Pasal 10


(1) Pelatihan kerja dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pasar kerja dan dunia usaha, baik di dalam maupun di luar kekerabatan kerja.


(2) Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan jadwal training yang mengacu pada standar kompetensi kerja.


(3) Pelatihan kerja sanggup dilakukan secara berjenjang.


(4) Ketentuan mengenai tata cara penetapan standar kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.


Pasal 11


Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau menyebarkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui training kerja.


Pasal 12


(1) Pengusaha bertanggung jawab atas peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi pekerjanya melalui training kerja.


(2) Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwajibkan bagi pengusaha yang memenuhi persyaratan yang diatur dengan Keputusan Menteri.


(3) Setiap pekerja/buruh mempunyai kesempatan yang sama untuk mengikuti training kerja sesuai dengan bidang tugasnya.


Pasal 13


(1) Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga training kerja pemerintah dan/atau lembaga training kerja swasta.


(2) Pelatihan kerja sanggup diselenggarakan di tempat training atau tempat kerja.


(3) Lembaga training kerja pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam menyelenggarakan training kerja sanggup bekerja sama dengan swasta.


Pasal 14


(1) Lembaga training kerja swasta sanggup berbentuk tubuh aturan Indonesia atau perorangan.


(2) Lembaga training kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memperoleh izin atau mendaftar ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota.


(3) Lembaga training kerja yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah mendaftarkan kegiatannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota.


(4) Ketentuan mengenai tata cara perizinan dan registrasi lembaga training kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.


Pasal 15


Penyelenggara training kerja wajib memenuhi persyaratan :



  1. tersedianya tenaga kepelatihan;

  2. adanya kurikulum yang sesuai dengan tingkat pelatihan;

  3. tersedianya sarana dan prasarana training kerja; dan

  4. tersedianya dana bagi kelangsungan aktivitas penyelenggaraan training kerja.


Pasal 16


(1) Lembaga training kerja swasta yang telah memperoleh izin dan lembaga training kerja pemerintah yang telah terdaftar sanggup memperoleh pengakuan dari lembaga akreditasi.


(2) Lembaga pengakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat independen terdiri atas unsur masyarakat dan pemerintah ditetapkan dengan Keputusan Menteri.


(3) Organisasi dan tata kerja lembaga pengakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.


Pasal 17


(1) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota sanggup menghentikan sementara pelaksanaan penyelenggaraan training kerja, apabila dalam pelaksanaannya ternyata :



  1. tidak sesuai dengan arah training kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9; dan/atau

  2. tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.


(2) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan training kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), disertai alasan dan saran perbaikan dan berlaku paling usang 6 (enam) bulan.


(3) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan training kerja hanya dikenakan terhadap jadwal training yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 15.


(4) Bagi penyelenggara training kerja dalam waktu 6 (enam) bulan tidak memenuhi dan melengkapi saran perbaikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikenakan hukuman penghentian jadwal pelatihan.


(5) Penyelenggara training kerja yang tidak menaati dan tetap melaksanakan jadwal training kerja yang telah dihentikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dikenakan hukuman pencabutan izin dan penghapusan registrasi penyelenggara pelatihan.


(6) Ketentuan mengenai tata cara penghentian sementara, penghentian, pencabutan izin, dan penghapusan registrasi diatur dengan Keputusan Menteri.


Pasal 18


(1) Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti training kerja yang diselenggarakan lembaga training kerja pemerintah, lembaga training kerja swasta, atau training di tempat kerja.


(2) Pengakuan kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui sertifikasi kompetensi kerja.


(3) Sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sanggup pula diikuti oleh tenaga kerja yang telah berpengalaman.


(4) Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dibuat tubuh nasional sertifikasi profesi yang independen.


(5) Pembentukan tubuh nasional sertifikasi profesi yang independen sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 19


Pelatihan kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat dilaksanakan dengan memperhatikan jenis, derajat kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja penyandang cacat yang bersangkutan.


Pasal 20


(1) Untuk mendukung peningkatan training kerja dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, dikembangkan satu sistem training kerja nasional yang merupakan pola pelaksanaan training kerja di semua bidang dan/atau sektor.


(2) Ketentuan mengenai bentuk, mekanisme, dan kelembagaan sistem training kerja nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 21


Pelatihan kerja sanggup diselenggarakan dengan sistem pemagangan.


Pasal 22


(1) Pemagangan dilaksanakan atas dasar perjanjian pemagangan antara peserta dengan pengusaha yang dibuat secara tertulis.


(2) Perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang-kurangnya memuat ketentuan hak dan kewajiban peserta dan pengusaha serta jangka waktu pemagangan.


(3) Pemagangan yang diselenggarakan tidak melalui perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dianggap tidak sah dan status peserta bermetamorfosis pekerja/buruh perusahaan yang bersangkutan.


Pasal 23


Tenaga kerja yang telah mengikuti jadwal pemagangan berhak atas pengakuan kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga sertifikasi.


Pasal 24


Pemagangan sanggup dilaksanakan di perusahaan sendiri atau di tempat penyelenggaraan training kerja, atau perusahaan lain, baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia.


Pasal 25


(1) Pemagangan yang dilakukan di luar wilayah Indonesia wajib menerima izin dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.


(2) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyelenggara pemagangan harus berbentuk tubuh aturan Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


(3) Ketentuan mengenai tata cara perizinan pemagangan di luar wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri.


Pasal 26


(1) Penyelenggaraan pemagangan di luar wilayah Indonesia harus memperhatikan :



  1. harkat dan martabat bangsa Indonesia;

  2. penguasaan kompetensi yang lebih tinggi; dan

  3. perlindungan dan kesejahteraan peserta pemagangan, termasuk melaksanakan ibadahnya.


(2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk sanggup menghentikan pelaksanaan pemagangan di luar wilayah Indonesia apabila di dalam pelaksanaannya ternyata tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).


Pasal 27


(1) Menteri sanggup mewajibkan kepada perusahaan yang memenuhi persyaratan untuk melaksanakan jadwal pemagangan.


(2) Dalam memutuskan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri harus memperhatikan kepentingan perusahaan, masyarakat, dan negara.


Pasal 28


(1) Untuk memperlihatkan saran dan pertimbangan dalam penetapan kebijakan serta melaksanakan koordinasi training kerja dan pemagangan dibuat lembaga koordinasi training kerja nasional.


(2) Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja lembaga koordinasi training kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden.


Pasal 29


(1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemda melaksanakan pembinaan training kerja dan pemagangan.


(2) Pembinaan training kerja dan pemagangan ditujukan ke arah peningkatan relevansi, kualitas, dan efisiensi penyelenggaraan training kerja dan produktivitas.


(3) Peningkatan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilakukan melalui pengembangan budaya produktif, etos kerja, teknologi, dan efisiensi aktivitas ekonomi, menuju terwujudnya produktivitas nasional.


Pasal 30


(1) Untuk meningkatkan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dibuat lembaga produktivitas yang bersifat nasional.


(2) Lembaga produktivitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berbentuk jejaring kelembagaan pelayanan peningkatan produktivitas, yang bersifat lintas sektor maupun daerah.


(3) Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja lembaga produktivitas nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden.


BAB VI

PENEMPATAN TENAGA KERJA


Pasal 31


Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri.


Pasal 32


(1) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi.


(2) Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang sempurna sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan pertolongan hukum.


(3) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan jadwal nasional dan daerah.


Pasal 33


Penempatan tenaga kerja terdiri dari :



  1. penempatan tenaga kerja di dalam negeri; dan

  2. penempatan tenaga kerja di luar negeri.


Pasal 34


Ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 abjad b diatur dengan undang-undang.


Pasal 35


(1) Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja sanggup merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja.


(2) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memperlihatkan pertolongan semenjak rekrutmen hingga penempatan tenaga kerja


(3) Pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memperlihatkan pertolongan yang meliputi kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.


Pasal 36


(1) Penempatan tenaga kerja oleh pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dilakukan dengan memperlihatkan pelayanan penempatan tenaga kerja.


(2) Pelayanan penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat terpadu dalam satu sistem penempatan tenaga kerja yang meliputi unsur-unsur :



  1. pencari kerja;

  2. lowongan pekerjaan;

  3. informasi pasar kerja;

  4. mekanisme antar kerja; dan

  5. kelembagaan penempatan tenaga kerja.


(3) Unsur-unsur sistem penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sanggup dilaksanakan secara terpisah yang ditujukan untuk terwujudnya penempatan tenaga kerja.


Pasal 37


(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) terdiri dari :



  1. instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenaga-kerjaan; dan

  2. lembaga swasta berbadan hukum.


(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) abjad b dalam melaksanakan pelayanan penempatan tenaga kerja wajib mempunyai izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.


Pasal 38


(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) abjad a, tidak boleh memungut biaya penempatan, baik pribadi maupun tidak langsung, sebagian atau keseluruhan kepada tenaga kerja dan pengguna tenaga kerja.


(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) abjad b, hanya sanggup memungut biaya penempatan tenaga kerja dari pengguna tenaga kerja dan dari tenaga kerja golongan dan jabatan tertentu.


(3) Golongan dan jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.


BAB VII

PERLUASAN KESEMPATAN KERJA


Pasal 39


(1) Pemerintah bertanggung jawab mengupayakan ekspansi kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar kekerabatan kerja.


(2) Pemerintah dan masyarakat bahu-membahu mengupayakan ekspansi kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar kekerabatan kerja.


(3) Semua kebijakan pemerintah baik sentra maupun tempat di setiap sektor diarahkan untuk mewujudkan ekspansi kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar kekerabatan kerja.


(4) Lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan, dan dunia perjuangan perlu membantu dan memperlihatkan fasilitas bagi setiap aktivitas masyarakat yang sanggup membuat atau menyebarkan ekspansi kesempatan kerja.


Pasal 40


(1) Perluasan kesempatan kerja di luar kekerabatan kerja dilakukan melalui penciptaan aktivitas yang produktif dan berkelanjutan dengan mendayagunakan potensi sumber daya alam, sumber daya insan dan teknologi sempurna guna.


(2) Penciptaan ekspansi kesempatan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan pola pembentukan dan pembinaan tenaga kerja mandiri, penerapan sistem padat karya, penerapan teknologi sempurna guna, dan pendayagunaan tenaga kerja sukarela atau pola lain yang sanggup mendorong terciptanya ekspansi kesempatan kerja.


Pasal 41


(1) Pemerintah memutuskan kebijakan ketenagakerjaan dan ekspansi kesempatan kerja.


(2) Pemerintah dan masyarakat bahu-membahu mengawasi pelaksanaan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).


(3) Dalam melaksanakan kiprah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sanggup dibuat tubuh koordinasi yang beranggotakan unsur pemerintah dan unsur masyarakat.


(4) Ketentuan mengenai ekspansi kesempatan kerja, dan pembentukan tubuh koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Pasal 40, dan ayat (3) dalam pasal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.


BAB VIII

PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING


Pasal 42


(1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja aneh wajib mempunyai izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.


(2) Pemberi kerja orang perseorangan tidak boleh mempekerjakan tenaga kerja asing.


(3) Kewajiban mempunyai izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak berlaku bagi perwakilan negara aneh yang mempergunakan tenaga kerja aneh sebagai pegawai diplomatik dan konsuler.


(4) Tenaga kerja aneh sanggup dipekerjakan di Indonesia hanya dalam kekerabatan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu.


(5) Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.


(6) Tenaga kerja aneh sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) yang masa kerjanya habis dan tidak sanggup diperpanjang sanggup digantikan oleh tenaga kerja aneh lainnya.


Pasal 43


(1) Pemberi kerja yang memakai tenaga kerja aneh harus mempunyai planning penggunaan tenaga kerja aneh yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.


(2) Rencana penggunaan tenaga kerja aneh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat keterangan :



  1. alasan penggunaan tenaga kerja asing;

  2. jabatan dan/atau kedudukan tenaga kerja aneh dalam struktur organisasi perusahaan yang bersangkutan;

  3. jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing; dan

  4. penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping tenaga kerja aneh yang dipekerjakan.


(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pemerintah, badan-badan internasional dan perwakilan negara asing.


(4) Ketentuan mengenai tata cara ratifikasi planning penggunaan tenaga kerja aneh diatur dengan Keputusan Menteri.


Pasal 44


(1) Pemberi kerja tenaga kerja aneh wajib menaati ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi yang berlaku.


(2) Ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.


Pasal 45


(1) Pemberi kerja tenaga kerja aneh wajib :



  1. menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping tenaga kerja aneh yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja asing; dan

  2. melaksanakan pendidikan dan training kerja bagi tenaga kerja Indonesia sebagaimana dimaksud pada abjad a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja asing.


(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kerja aneh yang menduduki jabatan direksi dan/atau komisaris.


Pasal 46


(1) Tenaga kerja aneh tidak boleh menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau jabatan-jabatan tertentu.


(2) Jabatan-jabatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri


Pasal 47


(1) Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap tenaga kerja aneh yang dipekerjakannya.


(2) Kewajiban membayar kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan-badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan.


(3) Ketentuan mengenai jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.


(4) Ketentuan mengenai besarnya kompensasi dan penggunaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 48


Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja aneh wajib memulangkan tenaga kerja aneh ke negara asalnya setelah kekerabatan kerjanya berakhir.


Pasal 49


Ketentuan mengenai penggunaan tenaga kerja aneh serta pelaksanaan pendidikan dan training tenaga kerja pendamping diatur dengan Keputusan Presiden.


BAB IX

HUBUNGAN KERJA


Pasal 50


Hubungan kerja terjadi lantaran adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh.


Pasal 51


(1) Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan.


(2) Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku.


Pasal 52


(1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar :



  1. kesepakatan kedua belah pihak;

  2. kemampuan atau kecakapan melaksanakan perbuatan hukum;

  3. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan

  4. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.


(2) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) abjad a dan b sanggup dibatalkan.


(3) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) abjad c dan d batal demi hukum.


Pasal 53


Segala hal dan/atau biaya yang dibutuhkan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha.


Pasal 54


(1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya memuat :



  1. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;

  2. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;

  3. jabatan atau jenis pekerjaan;

  4. tempat pekerjaan;

  5. besarnya upah dan cara pembayarannya;

  6. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;

  7. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;

  8. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan

  9. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.


(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) abjad e dan f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.


(3) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang kurangnya rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan aturan yang sama, serta pekerja/buruh dan pengusaha masing masing menerima 1 (satu) perjanjian kerja.


Pasal 55


Perjanjian kerja tidak sanggup ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak.


Pasal 56


(1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.


(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas :



  1. jangka waktu; atau

  2. selesainya suatu pekerjaan tertentu.


Pasal 57


(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus memakai bahasa Indonesia dan abjad latin.


(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.


(3) Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia.


Pasal 58


(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak sanggup mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.


(2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum.


Pasal 59


(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya sanggup dibuat untuk pekerjaan tertentu yang berdasarkan jenis dan sifat atau aktivitas pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :



  1. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

  2. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu usang dan paling usang 3 (tiga) tahun;

  3. pekerjaan yang bersifat musiman; atau

  4. pekerjaan yang bekerjasama dengan produk baru, aktivitas baru, atau produk komplemen yang masih dalam percobaan atau penjajakan.


(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak sanggup diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.


(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sanggup diperpanjang atau diperbaharui.


(4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu sanggup diadakan untuk paling usang 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling usang 1 (satu) tahun.


(5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling usang 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.


(6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya sanggup diadakan setelah melebihi masa batas waktu tenggang 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling usang 2 (dua) tahun.


(7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi aturan menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.


(8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.


Pasal 60


(1) Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu sanggup mensyaratkan masa percobaan kerja paling usang 3 (tiga) bulan.


(2) Dalam masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha tidak boleh membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.


Pasal 61


(1) Perjanjian kerja berakhir apabila :



  1. pekerja meninggal dunia;

  2. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;

  3. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan kekerabatan industrial yang telah mempunyai kekuatan aturan tetap; atau

  4. adanya keadaan atau insiden tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang sanggup menimbulkan berakhirnya kekerabatan kerja.


(2) Perjanjian kerja tidak berakhir lantaran meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah.


(3) Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh.


(4) Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, jago waris pengusaha sanggup mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh.


(5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, jago waris pekerja/ buruh berhak mendapatkan hak haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau hak hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.


Pasal 62


Apabila salah satu pihak mengakhiri kekerabatan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya kekerabatan kerja bukan lantaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri kekerabatan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh hingga batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.


Pasal 63


(1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan.


(2) Surat pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang kurangnya memuat keterangan :



  1. nama dan alamat pekerja/buruh;

  2. tanggal mulai bekerja;

  3. jenis pekerjaan; dan

  4. besarnya upah.


Pasal 64


Perusahaan sanggup menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.


Pasal 65


(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.


(2) Pekerjaan yang sanggup diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :



  1. dilakukan secara terpisah dari aktivitas utama;

  2. dilakukan dengan perintah pribadi atau tidak pribadi dari pemberi pekerjaan;

  3. merupakan aktivitas penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan

  4. tidak menghambat proses produksi secara langsung.


(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk tubuh hukum.


(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan pertolongan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


(5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.


(6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya.


(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) sanggup didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.


(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi aturan status kekerabatan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan peserta pemborongan beralih menjadi kekerabatan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.


(9) Dalam hal kekerabatan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka kekerabatan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan kekerabatan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).


Pasal 66


(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh dipakai oleh pemberi kerja untuk melaksanakan aktivitas pokok atau aktivitas yang bekerjasama pribadi dengan proses produksi, kecuali untuk aktivitas jasa penunjang atau aktivitas yang tidak bekerjasama pribadi dengan proses produksi.


(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk aktivitas jasa penunjang atau aktivitas yang tidak bekerjasama pribadi dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut :



  1. adanya kekerabatan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;

  2. perjanjian kerja yang berlaku dalam kekerabatan kerja sebagaimana dimaksud pada abjad a ialah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;

  3. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan

  4. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.


(3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk perjuangan yang berbadan aturan dan mempunyai izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.


(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) abjad a, abjad b, dan abjad d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi aturan status kekerabatan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi kekerabatan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.


Nah itulah rujukan suara naskah UU Ketenagakerjaan yakni UU No. 13 Tahun 2003 dijelaskan secara lengkap dari potongan 1 hingga potongan terakhir. Dijelaskan secara lengkap hal-hal mengenai ketenagakerjaan Indonesia termasuk syarat kontrak kerja, peluang dan kesempatan kerja serta prosedur wacana tenaga kerja aneh (TKA).




Sumber https://www.zonareferensi.com