Thursday, August 24, 2017

√ Sukarno Hatta Sistem Pemerintahan Era Mendatang

Beda pendapat ini pernah terjadi pada awal-awal pembentukan negara. Tidak tanggung-tanggung antara Bung Karno dan Bung Hatta, yang pada 17 Aguistus 1945 bantu-membantu memproklamirkan kemerdekaan RI. Masalah perbedaan ini, dikemukakan sendiri oleh kedua tokoh nasional dan bapak bangsa itu.

Beda pendapat ini pernah terjadi pada awal √ Sukarno Hatta sistem pemerintahan masa mendatang
Sukarno dan harta

”Saya pernah bertanya kepada Bung Karno, apa bedanya ia dengan Bung Hatta,” demikian Solichin Salam dalam bukunya Soekarno-Hatta yang diterbitkan Pusat Studi dan Penelitian Islam. ”Saya unitaris, Hatta federalis,” jawab Bung Karno singkat.
Setelah itu, Solichin mewawancarai Bung Hatta. ”Berbicara perihal bentuk negara Indonesia yang dicita-citakan sebelum Indonesia merdeka, saya tanyakan kepada Bung Hatta kenapa ia waktu itu cenderung pada bentuk negara federal dari negara kesatuan.”
Jawab Bung Hatta: ”Saya cenderung kepada bentuk Negara Federal alasannya yakni melihat teladan negara-negara besar waktu itu, menyerupai Amerika Serikat atau Uni Soviet yang semuanya berbentuk federal.” Tetapi sekalipun beda pendapat, sebagai seorang demokrat Bung Hatta tetap tunduk dan patuh kepada keputusan bunyi terbanyak, menentukan Negara Kesatuan RI.
Bung Karno pada masa demokrasi terpimpin sering mengeritik hasil Konperensi Medja Bundar (KMB) di Den Haag di mana delegasi Indonesia dipimpin diwakili oleh Bung Hatta. Sebagai hasil KMB selesai Desember 1949, Indonesia dan Belanda menyetujui pembentukan negara Republik Indonesia Serikat (RIS), yang berbentuk negara federal. Menurut Bung Karno, akhir kompromi-kompromi mental inilah yang mengakibatkan memburuknya keadaan pada 1950-1962.
Kedua proklamirkan kemerdekaan ini bahkan mengakui beda pendapat dan pendirian terjadi semenjak tahun 1930’an ketika keduanya menggerakan usaha kemerdekaan. ”Hatta berlainan sekali denganku dalam sifat dan pembawaan,” kata Presiden Sukarno dalam bukunya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat karangan Cindy Adams. Tapi, Bung Karno sendiri, termasuk pada masa jayanya PKI tetap memuji Bung Hatta selama perjuangannya itu.
Dalam usaha di masa itu, berdasarkan Bung Karno, Hatta menekankan pada kader-kader, sedangkan ia lebih menentukan mendatangi secara pribadi rakyat jelata dan mengkremasi hati mereka menyerupai yang selama ini dilakukannya. Menurut Bung Karno, cara yang dilakukan Hatta memerlukan waktu sangat usang dan ‘baru tercapai bila dunia kiamat’.
Tapi Hatta tetap pada pendirian melaksanakan usaha melalui pendidikan mudah kepada rakyat. Cara ini, menurutnya lebih baik dari atas dasar daya tarik pribadi seorang pemimpin menyerupai yang dilakukan Bung Karno. Hingga apabila pimpinan atasan tidak ada, mudah tetap berjalan dengan pimpinan bawahan. Karena selama ini, kata Hatta waktu itu, bila Sukarno tidak ada, mudah partai tidak berjalan.
I Wangsa Widjaya, dalam buku Mengenang Bung Hatta, menulis, di balik perbedaan yang ada antara kedua tokoh nasional ini, ada sesuatu yang sangat unik. ”Antara Bung Karno dan Bung Hatta telah terjalan satu relasi yang amat erat sehingga orang menyebutnya dwitunggal.” Sikap erat kedua tokoh nasional Indonesia ini, sudah ditampakkan pada masa pendudukan Jepang. Bahkan, pada 17 Agustus 1945, ketika Bung Karno didesak oleh para perjaka untuk memproklamirkan kemerdekaan, ia menolak sebelum Bung Hatta datang.
Memang kemudian dwitunggal itu tidak berfungsi lagi dengan pengunduran diri Bung Hatta sebagai wakil presiden pada 1 Desember 1956. Karena terjadi beberapa perbedaan prinsipil antara keduanya. Hatta tidak sependapat dengan Bung Karno bahwa revolusi belum selesai dan agak mengenyampingkan pembangunan. Ia beropini revolusi sudah selesai dengan tercapainya kermerdekaan.
Menurut Wangsawidjaya, yang waktu itu menjadi sekretaris pribadi Bung Hatta, orang nomor dua di Indonesia ini meletakkan jabatan bukan hanya dikarenakan Bung Karno yang tindakannya sering menyimpang. Terutama, alasannya yakni keadaan pemerintahan cukup umur itu (1950-1958). Saat parpol saling menyerang dan bertengkar secara tidak sehat, alasannya yakni condong bersikap sebagai orang partai daripada negarawan. Sedang partai yang berkuasa lebih mementingkan politik dan aspirasi partainya katimbang kepentingan bangsa dan negara.
Sekalipun sudah tidak lagi sebagai wakil presiden, tapi perhatian Bung Hatta terhadap nusa dan bangsa tetap besar. Ketika pecah pemberontakan PRRI ia berupaya sekuat tenaga mengusahakan perdamaian antara sentra dan daerah. Indonesia, katanya, dihentikan pecah, malah harus memperkuat persatuan.
”Empat kali saya berupaya menghalang-halangi (pemberontakan PRRI-pen.), tapi tidak berhasil. Saya tegaskan bahwa tindakan itu akan mencapai sebaliknya dari yang dimaksud, akan menghancurkan apa yang telah dibangun dengan usaha sendiri serta menjadikan Sumatera Barat sebagai padang dilajang gajah, dan last but not least memperkuat semangat diktatur di kalangan pemerintahan.” (Solichin Salam: Sukarno – Hatta).
Hatta sendiri, kepada Solichin menceritakan bagaimana akrabnya ia dan Bung Karno waktu itu. ”Hingga tiap surat yang akan ditandatanganinya ditolak sebelum ada paraf saya. Dan tiap keputusan yang saya ambil Bung Karno selalu menyetujuinya.”
Sedangkan Wangsa, yang menjadi sekretaris pribad Bung Hatta hingga tokoh ini meninggal dunia menyatakan, sekalipun sering terjadi beda pendapat tapi keduanya tidak pernah saling mendendam. Sebagai bukti Bung Hatta tidak dendam pada Bung Karno ialah kejadian menjelang wafatnya presiden pertama RI ini.
Pada tanggal 19 Juni 1970, atau dua hari sebelum Bung Karno wafat, Bung Hatta dan Wangsawidjaja mengunjungi RSPAD Gatot Subroto untuk menjenguk Bung Karno. Setelah sebelumnya mereka sanggup kabar dari Mas Agung (Dirut PT Gunung Agung), bahwa Bung Karno dalam keadaan gawat. Sakitnya Bung Karno ini memang sangat dirahasiakan pemerintah. Karena itulah, Hatta sebelum membesuknya harus minta izin terlebih dulu kepada Pak Harto melalui Sekmil Jenderal Tjokropranolo.
Sesampainya Bung Hatta dan sekretarisnya ke RSPAD mereka mendapat bahwa Bung Karno sudah tidak sadarkan diri. ”Saya melihat Bung Hatta begitu sedih melihat keadaan Bung Karno,” tulis Wangsawidjaja. Tapi untungnya tidak usang kemudian Bung Karno siuman.
”O o Hatta, kamu ada di sini. Kau juga Wangsa,” ujar Bung Karno perlahan. ”Sebenarnya masih ada ucapan ekspresi yang dikatakan oleh Bung Karno kepada Bung Hatta. Tetapi, saya tidak tahu persis, alasannya yakni ucapan Bung Karno terlalu pelan,” tutur Wangsa.
Dan itulah pertemuan terakhir dua bapak bangsa, yang selama puluhan tahun berjuang untuk mencapai kemerdekaan, tanpa peduli harus masuk dan keluar penjara dan diasingkan ke aneka macam tempat. ”Suatu pertemuan yang amat mengharukan antara dua orang sahabat,” demikian tulis Wangsawijaya.
Beberapa hari sebelum Bung Karno meninggal dunia, informasi sakitnya itu dilaporkan oleh Ali Moertopo, Aspri Presiden kepada Pak Harto di Bina Geraha. Rupanya, waktu itu Ali Moertopo masih mengatakan ketidaksenangannya kepada Bung Karno. ”Kalau ia meninggal pun saya tidak regret,” katanya kepada pers.

SUMBER https://alwishahab.wordpress.com/2003/02/15/sukarno-hatta/
Sumber http://rajebgroups.blogspot.com