LANGIT
Kini saya memandang langit yang sesungguhnya, langit biru dan berawan langit yang terukir setengah bulat berwarna merah, jingga, kuning, hijau, dan biru. Langit yang menerangkan kebahagian, langit yang ceria dan penuh warna. Aku hanya melongo melihatnya, membisu sunyi dan hanya bergumam lirih yang menyatakan bahwa saya ingin menjadi langit itu. Langit yang tidak sendiri, langit yang selalu ceria dan berwarna. langit yang ditemani bintang-bintang dan bulan walaupun petang. Semakin saya memandang semakin jauh mata ini melihat saya ragu, seorang sepertiku yang hanya mempunyai satu bintang dalam hidupku mustahil saya bisa menjadi langit itu. Harapanku rapuh, tatkala bintang satu-satunya yang ada dihidupku pergi. Aku menjadi langit yang gelap kelabu tak bewarna, tidak mempunyai keindahan untuk dilihat, orang yang melihatku menjadi prihatin. Banyak petir dan angin puting-beliung yang tak sanggup saya jalani, saya hanya bisa berlari dari kegelapan langit itu. Berlari, berlari, berlari hingga kakiku tidak bisa menahanku untuk berdiri. Saat itu saya termenung saya berusaha berjalan walaupun kakiku sudah tidak sanggup lagi, saya berjalan tertatih-tatih. Tiba-tiba saya melihat setitik cahaya kecil tapi sinarnya begitu kuat, seakan saya terbius untuk berlari ke cahaya itu. Aku mencari tahu darimana cahaya itu berasal ternyata itu ialah cahaya yang disebut dengan nama MATAHARI, saya menemui matahari itu. Aku menyadari betapa lemahnya saya kalau hanya membisu dan takmampu menghadapi duduk masalah dalam hidupku. Walupun saya kehilangan satu bintang tapi saya menemukan matahari, matahari itu sanggup mengubah warna gelap langitku menjadi cerah dan berwarna lagi, yang memberikanku semangat untuk menjadi langit yang indah lagi.
****
Suara ayam berkokok dan ibu-ibu yang sedang melaksanakan tawar-menawar membangunkanku dari mimpiku. Mimpi bertemu gadis bagus nan busuk tubuhnya kolam mawar yang merekah dipagi hari itu sirna ketika seseorang meneriakiku “langit... langitt.. cepat bangun dan lakukan tugasmu”. Suara cempreng yang selalu membiusku untuk segera bergegas bangun dan mengakhiri mimpi ku itu tidak akan pernah terlupakan. “iya nek, langit berangkat” ujarku sambil tergopoh-gopoh mengambil sepeda ontel dan rengkek sahabatku. Di pagi buta menyerupai ini memang menjadi kebiasaanku untuk membantu orang yang paling saya cintai. Aku mengayuh sepeda kesayanganku dengan kecepatan menyerupai kura-kura sedang berjalan. Cepat sekali, cepat sekali angin yang berhembus meniupku yang sedang mengayuh sepeda renta nan reot ini sehingga saya membutuhkan waktu lama untuk hingga ke pasar, alasannya ialah pasar itu terletak 2 kilometer dari gubuk mungil yang saya tempati dengan nenekku. Sesekali kura-kura ini tersandung dan rantainya lepas, saya harus membenarkannya dengan cepat kalau lambat bisa-bisa pulang tidak ada makanan di meja makan, alasannya ialah nenek renta yang menunggu itu niscaya akan memarahiku dan berkata “tidak ada makanan langit, alasannya ialah kau sudah memakan terlalu banyak waktu bisa-bisa kau kekenyangan nanti” begitulah ujar perempuan renta ini, bagi nenekku waktu ialah hal yang paling berharga dalam hidupnya alasannya ialah setiap detik yang telah berlalu tidak akan pernah kembali lagi. Nenek bukan seseorang yang ingin menghabiskan waktunya untuk hal yang sia-sia, dia begitu pekerja keras walaupun giginya tidak lengkap 10 dan punggungnya sudah mulai melengkung. Nenek mempunyai kedai kecil di depan gubuk yang kami gunakan untuk beristirahat dan merajut mimpi, kedai itu didirikan oleh kakek semasa kakek masih menjadi juragan terkaya pada masa itu. Setelah kepergian kakek, nenek mengurus kedai itu dengan penuh kasih sayang menyerupai yang dia lakukan kepada kakek, nenek tidak akan membiarkan hal apapun terjadi pada kedai itu alasannya ialah di kedai kecil yang menjual kebutuhan sehari-hari masyarakat tersebut terukir sejuta kenangan yang hanya nenek yang tau. Begitu besar rasa cinta nenek ke kakek sehingga nenek renta yang sudah beruban ini sangat melindungi kedai itu. Karena saya yang dilahirkan tanpa mempunyai orangtua ini mencicipi ketulusan nenek, saya ingin membantu nenek dengan segala kekuatanku menyerupai yang nenek lakukan kepadaku ketika umurku gres tiga jam hingga berkepala 2 ini. Sebenarnya saya ingin memanggil nenek dengan sebutan ibu akan tetapi nenek tidak mau, alasannya ialah nenek bukanlah ibuku dan nenek tidak mau merebut panggilan ibu kandungku sesungguhnya, nenek hanyalah nenek yang membesarkanku dengan kasih sayang menyerupai ibu kandungku sendiri. Aku tidak pernah tau apa yang terjadi dengan kedua orangtuaku, kenapa mereka memberikanku kepada nenek ketika usiaku gres 3 jam saya tidak pernah tau apa alasannya, akan tetapi begitu bersyukurnya saya kini menjadi langit yang cerah bersama bintangku yaitu nenek.
****
Rantai kura-kuraku yang sering lepas ini tidak menghilangkan semangatku untuk berangkat ke pasar membeli sayuran dan keperluan-keperluan lain yang diharapkan di kedai nenek, mengingat saya pergi ke pasar alasannya ialah nenek saya malah jadi lebih semangat. Aku pun meletakkan sayuran dan keperluan-keperluan kedai di rengkek yang ada di sepeda ontel reotku, saya menatanya dengan rapi alasannya ialah saya ialah langit, saya tidak suka melihat sesuatu yang tidak rapi. Melihat langit sesungguhnya dengan awan-awan yang berjejer rapi mencermikan menyerupai diriku, langit yang menata rapi sayuran dan keperluan-keperluan kedai didalam rengkeknya. Aku kembali mengayuh kura-kuraku untuk segera kembali ke kedai, ditengah perjalanan saya melihat gadis yang berparas menyerupai malaikat dengan rambut dikepang menjadi dua dan menggunakan pita merah di kepalanya menambahkan gadis itu terlihat ayu. Melihat gadis itu sedang kesusahan membawa sayuran ditangannya, saya memberanikan diri untuk menyapanya niatku ialah untuk membantunya, saya tidak tega melihatnya terkekeh-kekeh membawa sayur-sayuran itu. “ bolehkah saya membantumu membawakan itu” ucapku dengan ragu sambil melihat keranjang yang penuh berisikan sayuran itu. Gadis berpita merah itu takut dan dia menolak bantuanku, “aku akan mengantarkan sayuran itu kerumahmu” ujarku lagi seraya meyakinkan. Dengan usahaku untuk meyakinkan gadis berpita merah itu balasannya ia mau mendapatkan bantuanku, akan tetapi ia tidak mau saya menolongnya hingga di depan rumah, saya hanya bisa mengiyakan seruan gadis itu alasannya ialah dia benar-benar gadis yang susah mendapatkan santunan dari orang lain. Di perjalanan menuju kerumah, gadis itu melongo tak berkedip tak menoleh dan seolah-olah tak bernafas menyerupai patung akan tetapi patung yang bisa berjalan, suasana begitu canggung dan saya merasa ia tidak sanggup mencicipi kecanggunngan itu. Selesai mengantarkan gadis berpita merah itu di radius 50 meter dari rumahnya saya segera menaiki kura-kuraku dan bergegas ke kedai nenek. Saat saya meletakkan kura-kura ku di samping gubuk mungilku saya melihat kedai nenekku yang begitu sepi tak sama menyerupai biasanya, saya benar-benar galau dan ingin tahu mengapa kedai nenek tidak banyak pembeli. Aku melihat nenek duduk di dingklik bambu depan kedai dengan wajah yang murung sambil meminum seduhan wedang jahe buatannya sendiri. “apa yang sedang terjadi nek? Mengapa kedai tidak menyerupai biasanaya?” tanyaku kepada nenek “mungkin mereka sudah mempunyai kebutuhan mereka sendiri-sendiri langit, kau tak usah khawatir nanti kalau mereka perlu niscaya mereka tiba ke kedai” jawab nenek sambil tersenyum menutupi kesedihannya. Aku tidak bisa hening walaupun nenek sudah menyuruhku untuk tidak khawatir, bagaimana saya tidak khawatir melihat kondisi nenek yang lemah seolah-olah dia sedang menanggung beban yang begitu berat. Tak kuasa melihat bintangku meredupkan cahayanya saya ingin bergegas menghibur dan menerangkannya lagi biar langitku tak benar-benar gelap gulita, saya mencari asal muasal yang terjadi mengapa kedai nenek yang biasanya dipenuhi pembeli kini kosong, hanya dedauan yang berterbangan saja lewat melalui sela-sela gubuk bambu milik nenek. Aku langit yang masih mempunyai satu bintang tidak akan membisu saja membiarkan bintangku redup, saya berkeliling desa menggunakan kura-kuraku ingin mencari tahu apa yang sedang terjadi ketika ini. Di tengah jalan mataku terhenti melihat gadis yang beberapa waktu kemudian bertemu denganku, gadis manis nan ayu yang mengenakan pita merah di kepalanya membuatku berhenti mengayuh kura-kura sahabatku. Kini saya melihatnya berjalan sendirian di pinggir sawah, ingin rasa hati untuk menghampirinya tapi begitu saya melihat bola matanya jantungku seraya berhenti berdetak dan sekujur tubuhku kaku tanda terkesima. Aku tidak berani dan segera saya menaiki kura-kuraku untuk melanjutkan mencari tahu yang terjadi di kedai nenek, belum jauh saya mengayuh tiba-tiba gadis berpita merah itu jatuh tergelincir di kubangan lumpur, saya lari untuk menghampirinya mengulurkan tanganku untuk membantunya gadis itu aib tidak mau menatapku. Begitu kasihan kali ini lagi-lagi ia enggan mendapatkan bantuanku, saya tetap memaksa alasannya ialah saya tidak tega melihatnya dipenuhi lumpur. Dia mau tapi dengan wajah yang tidak bahagia.
“ berhenti, di depan itu rumahku. Terimakasih kau begitu baik kepadaku” ungkapnya dengan hambar sambil turun dari kura-kuraku.
“ sama-sama, siapa namaa...” belum selesai saya melanjutkan pertanyaanku saya mendengar bunyi gaduh ibu-ibu banyabicara yang sedang tawar-menawar di samping rumah gadis bagus nan hambar itu. Aku mengintip dibalik gerbang ternyata pelanggan yang biasanya gaduh di kedai milik nenek kini pindah di samping rumah pak Abid ayah dari gadis bagus itu.
****
Bintangku semakin redup sehabis ia mengetahui sesungguhnya yang terjadi. Nenek difitnah bahwa nenek memelihara jin, alasannya ialah kedai nenek memang kedai terlaku di desa kecil ini. Sungguh, saya tidak percaya siapa biang keladi dari semua ini dengan alasan apa dia berani memfitnah bintangku dengan hal-hal yang tidak masuk logika ini. Memangnya jin sejenis hewan, batinku. Melihat nenek yang punggungya melengkung itu murung benar-benar mencabik-cabik parasaanku. Nenek renta yang selalu tersenyum untuk melanjutkan bisnis kecil itu serasa tak akan pernah bisa tersenyum lagi, dengan kondisinya yang benar-benar tidak baik ia berusaha menutupi dari cucunya ini.
“sudah langit kau tak perlu bermuram durja menyerupai yang saya lakukan. Aku bukan bermuram alasannya ialah kedai kita tetapi memang inilah wajah asliku langit” ujar nenek berbohong kepadaku.
Nenek sering batuk berdahak dan saya pernah melihatnya batuk dengan mengeluarkan darah dari mulutnya, saya ketakutan kemudian membawanya ke mantri di seberang desa menaiki kura-kuraku.
“ nenekmu hanya kelelahan ngit, kau tak perlu khawatir” ujar mantri itu menghilangkan sedikit kecemasanku.
Aku menjaga nenekku dengan penuh rasa cemas alasannya ialah nenek begitu keras kepala untuk membuka kedai, saya tidak akan membiarkan nenek renta yang sudah tak sanggup berdiri itu tetap menjalankan aktivitasnya.
“ langit berjanji mengembalikan pelanggan yang biasanya tiba kewarung nenek, langit akan menjaga kedai kakek! Asal nenek harus berjanji untuk sembuh kepada langit” ujarku sambil menitikkan air mata, nenek melongo dan hanya mengucapkan “nenek berjanji langit..” dengan bunyi lemas.
Setelah merawat nenek saya bergegas ke pasar membeli keperluan kedai yang kurang, sehabis saya kembali dari pasar saya membuka kedai kecil milik nenek yang sudah lama dan berdebu kubersihkan dan ku tata rapi menyerupai kedai yang gres diresmikan. Tiba-tiba saya melihat gadis berpita merah yang berlali menuju arahku, sesungguhnya saya tak yakin apakah ia ingin belanja kekedai ku ia tampak panik dan ketakutan.
“kali ini saya membutuhkan bantuanmu, apakah kau masih mau menolongku?” ungkapnya dengan mata berkaca-kaca. Langit sepertiku tidak suka dengan keadaan yang mendung, melihat mata gadis itu seakan akan langitku akan meneteskan air hujan yang begitu deras. Kusuruh ia masuk ke gubuk renta kami, walaupun sudah berulang kali kutanya ia hanya melongo dengan meneteskan air matanya terus menerus, saya tak tega melihatanya menyerupai itu.
“ ayah yang jahat! Aku tidak pernah menginginkan ayah sepertimu” sambil terisak ia berkata itu berulang-ulang kali, saya hanya melongo saya membiarkannya meluapkan amarah yang ia pendam sendirian. Karena ia gadis yang pendiam dan setau ku ia tak mempunyai ibu juga, mungkin tidak ada yang bisa menjadi pendengar baiknya sehingga ia kesal, saya mencoba membantunya selagi saya bisa.
“ maafkan aku, ayahku lah dalang dari semua duduk masalah yang kau hadapi sekarang” kata gadis yang begitu banyak mengeluarkan air mata itu.
“ apa? Apa yang terjadi? tolong jelaskan, kumohon” ujarku galau dan benar-benar tak menyangka.
Gadis berpita merah itu menjelaskan yang gres saja terjadi, ia mendengar ayahnya berbicara dengan penjaga kedai milik ayah gadis itu yang berisi perihal ayahnya lah yang menyuruh untuk membuatkan fitnah tak masuk logika kepada nenek langit. Mendengar kisah itu langit terbakar oleh amarahnya, dengan impulsif ia berteriak kepada gadis itu
“ keluar kau!!! Jangan pernah kau memperlihatkan wajahmu di depanku lagi” menunjuk kearah gadis ayu yang sedang menagis itu.
Gadis berpita merah benar-benar ketakutan ia tak menyangka hal itu dilakukan oleh laki-laki yang selalu menolongnya. Langit sesungguhnya tidak tega tapi ketika ia berkata kalau pelakunya ialah ayah gadis itu, ia tak bisa membendung amarahnya sendiri “ maafkan aku” ujarku melihat gadis yang berjalan keluar dari gubukku. Kini saya sudah tau siapa dalang dari semua ini, siapa orang yang tak punya hati kepada orang renta yang menanggung beban hidup cucunya yang pembangkang ini, saya hanya termenung membisu tak melaksanakan apa-apa selain memperlihatkan nenek makan dan merawatnya dengan kesungguhan hati. Kondisi nenek semakin tak membaik kini sudah banyak darah yang ia keluarkan dari mulutnya tapi mantri hanya berkata “nenek mu hanya lelah langit, ia hanya perlu beristirahat” hanya kalimat itu yang ia katakan berulang kali ketika saya memeriksakan nenek. Aku benar-benar tak menyangka seorang mantri yang populer paling berakal di desaku ia tak bisa melaksanakan hal lebih kepada nenek, kini saya benar-benar merasa tak sanggup berbuat apa-apa lagi ke nenek.
Gadis berpita merah yang hingga ketika ini belum ku ketahui namanya tak pernah muncul sekalipun di depanku, saya merasa benar-benar bersalah kepadanya. Ia gadis baik yang tidak suka akan perbuatan ayahnya akan tetapi ia kena imbas dari ayahnya sendiri. Gadis berpita merah itu sering sekali menyendiri saya rasa ia mempunyai begitu banyak beban dalam hidupnya yang tak pernah diceritakan kepada orang lain. Karena sudah selesai tugasku untuk merawat nenek, kini nenek sedang merajut mimpi dan berusaha untuk sembuh di atas tikar. Begitu penat melihat oarang-orang yang saya kenal mengalami duduk masalah saya menyejukakan fikiranku dan tiba di kawasan ketika saya menolong gadis berpita merah yang terjatuh di kubangan lumpur. Aku menyendiri dan melihat langit sesungguhnya menyerupai yang dilakukan gadis pita merah itu sebelumnya, saya melihat langit yang mendung menyerupai diriku ketika ini. “indah bukan langit itu, lebih indah lagi kalau langit itu tidak berwarna kelabu menyerupai sekarang” bunyi gadis terdengar di belakangku. Ternyata gadis pita merah itu juga tiba di kawasan dia sedang terjatuh dulu, jantungku masih berdebar-debar ketika melihatnya, apalagi ia beranjak duduk di sampingku. Aku mematung.
****
“nenek cepat sembuh ya, nenek harus tetap bertahan mempertahankan milik nenek dengan cucumu nek. Maafkan ayahku yang sudah menciptakan nenek menyerupai ini” gadis pita merah itu menggengam tangan nenekku dengan meneteskan air mata, ia merasa bersalah melihat kondisi nenek yang sudah benar-benar tak berdaya itu. Gadis itu menangis dan berdo’a menangis lagi dan berdo’a lagi, hanya itu yang sanggup ia lakukan terhadap nenek sedangkan saya hanya berada di dalam kedai sambil duduk memegangi kedua lututku. Langit yang dulu cerah alasannya ialah mempunyai satu bintang dihidupnya kini benar-benar gelap alasannya ialah bintang itu perlahan-lahan meredupkan cahayanya, langit tidak sanggup melihat neneknya yang sekarat itu.Gadis yang sudah berusaha menyuruh ayahnya untuk meminta maaf dan mengembalikan situasi kesemula yang alhasil tak pernah digubris sekalipun oleh ayahnya itu benar-benar menyesal, ia tak pernah kembali kerumah, ia selalu menemani nenek dan langit di gubuk kecil nenek. Ketika tangis benar-benar memenuhi sela-sela dinding itu, nenek membuka matanya “langiit...” kata pertama yang diucapkan nenek itu menghentikan bunyi tangis gadis dan langit yang sedang disampingnya. “ nenek tak perlu apapun di dunia ini, nenek hanya meminta sedikit waktu ini kepada yang kuasa yang mau menjemputku. Langit harus menjadi langit yang cerah, langit yang mempunyai warna-warni di bagiannya, langit yang selalu di temani bintang-bintang, langit yang tak pernah lelah menyerupai nenek ini. Kau harus berjanji kepada nenek perihal itu, nenek disana akan memantamu, melihatmu dari langit ke tujuh kalau saya melihat langit cucu nenek sedang bersedih dan tidak berwarna maka nenek tak kau anggap sebagai nenekmu lagi.” Perkataan lirih terakhir nenek sebelum ia menghembuskan nafasnya yang terakhir. “neneeeeeeeeekkkkkkkkkkkkkkkkk !!!!!!!!!!!!!!” teriak langit sambil menagis memegang tangan neneknya, teriakannya begitu menggetarkan bumi ini, terikan seorang anak yang sudah tak mempunyai cahaya lagi dihidupnya. Beberapa hari sehabis kepergian neneknya, langit hanya melongo ia tak mau makan, tak mau berbicara, tak mau tidur yang ia lakukan hanya memeluki baju-baju yang pernah neneknya pakai. Langit benar-benar redup sekarang, kedainya sudah ditinggali oleh keluarga laba-laba dan debu sudah menumpuk setebal 5 centimeter. Melihat kondisi itu gadis yang sudah mulai menyukai langit tak tega, ia benar-benar ingin melihat langit tersenyum lagi, melihat langit manawarkan santunan lagi kepadanya tapi apa boleh buat gadis pita merah ini tak sanggup menggembalikan senyum langit lagi. Akan tetapi gadis itu tidak hanya mencoba 1 kali ia berulang-ulang kali menyemangati langit dan membantu langit biar ia sanggup cerah lagi menyerupai sediakala. “ saya tidak akan pulang! Aku akan tetap disini menebus semua dosa mu!” teriak gadis itu kepada ayahnya yang menyuruhnya pulang. Semua warga berkumpul mendengar teriakan gadis bagus yang berkata garang itu kepada ayahnya,
“apa kau kurang bahagia? Apa kau tak punya hati? Apa kau tak sayang kepada anakamu ini? Kenapa kau begitu tega memfitnah nenek langit dengana hal-hal yang tak masuk akal?” begitu banyak pertanyaan yang ia ungkapkan kepada ayahnya, warga setempat tak menyangka gadis yang pendiam itu ternyata mempunyai keberanian mengungkanpkan semuanya di depan orang banyak.
“apa maksudnya ini? Apa yang sedang terjadi sekarang?” seorang warga bertanya hal apa yang sedang terjadi antara anak dan ayah ini.
“apa kalian tidak menyadari? Kalian sedang ditipu oleh laki-laki itu, ia membuatkan fitnah yang tak masuk logika terhadap kedai milik nenek langit, kini nenek langit tak ada lagi! Aku sebagai anaknya malu, kenapa ayahku tak pernah sadar dan ia tak meminta maaf kepada nenek langit hingga detik ini” ucap gadis itu sambil berlinang air mata.
Aku yang tetap duduk dan membisu sambil mendengarkan apa yang sedang terjadi diluar sana hanya bisa meneteskan air mata saja, saya tak ingin membela siapapun kini yang ada difikiranku hanya nenek.
“ apa benar yang kau ucapkan? Berarti pak Abid tukang tipu?” masyarakat murka dan meraka tak akan tiba lagi ke kedai milik gadis itu. Pak Abid yang dipenuhi dengan penyesalan tetap membisu tak mau mengakui kesalahannya, pak Abid memang orang yang begitu keras kepala sama menyerupai anaknya akan tetapi anaknya masih mempunyai hati.
****
Langit yang begitu kelabu tak mengingat apa yang telah diucapkan neneknya sebelum menghembuskan nafas terakhir, ia hanya benar-benar terpuruk.
“langit hingga kapan kau akan terus menyerupai ini? Apa kau tak mengingat apa yang dikatakan nenekmu sebelumnya? Nenekmu berkata kalu ia sedang memantaumu sekarang! Apa kau tak ingat juga nenekmu berkata kalau dia melihatmu tak berwarna dia tak mau kau jadikan nenekmu! Apa kau tak ingat langit?” langit hanya membisu dan menitikkan air mata mendengar perkataan gadis itu, sesungguhnya ia mengingat dengan baik apa yang dikatakan neneknya itu tapi entah angin dari mana lewat yang menyebabkan langit tak ingin bangun lagi untuk memenuhi kesepakatan kepada neneknya itu.
“apa kau tak tau dalam hidpku saya hanya mempunyai satu cahaya, kau tau darimana cahaya itukan? Itu dari bintangku yaitu nenek, saya tak pernah mencicipi kasih sayang ayah ataupun ibu! Tapi saya tetap cerah alasannya ialah bintangku setia memperlihatkan saya cahaya, kini cahaya itu hilang apa kau tau? Aku tak bisa berjalan dalam kegelapan saya tak bisa berbuat apa-apa lagi” langit mengucapkan kalimat yang penuh makna sambil menagis terisak-isak.
“lantas, apakah kalau kau membisu menyerupai ini kegelapanmu akan berubah? Apakah kau ingin jadi pengecut menyerupai ayahku? Apa kau benar-benar tak ingin memenuhi janjimu kepada nenek? Sebenarnya kau bisa berjalan di kegelapan itu tapi kau harus berusaha melawan ketakutanmu itu langit!” ujar gadis pendiam yang menusuk perasaan langit.
“ apa kau tahu siapa namaku langit?” pertanyaan gadis itu kepada langit, memang benar selama ia bertemu dengan langit, langit tak pernah bertanya siapa nama gadis yang ia sebut gadis berpita merah ini. Langit menatapnya dan menggelengkan kepala, “ namaku ialah Matahari” langit semakin terpana melihat gadis bagus berjulukan matahari di depannya.
“apa kau tak mau bertemu matahari? Kau tau cahaya matahari lebih besar dari pada cahaya bintang, cobalah berjalan melawan rasa takutmu itu. Coba temukan sianar mataharimu kini langit!” kini langit beranjak menuju kedai ke arah matahari itu dari kawasan yang selama ia ditingkalkan neneknya ia hanya duduk sambil memegangi lututnya tak berdaya.
“langit, tahukah kau siapa orang pertama kali yang mendengarkan ceritaku? Itu kau langit. Aku menyukaimu semenjak pertama kali bertemu denganmu, tak bisakah saya menjadi mataharimu?”
****
Semangat itu muncul lagi ketika saya mendengar kata MATAHARI, saya tak menyangka selama ini gadis yang saya sukai menyukaiku juga. Kini saya menjadi langit yang cerah lagi berkat matahariku, saya kini menjalani hidup dengan orang yang bisa mebuataku menepati janjiku kepada nenekku yang paling kucintai. Aku membangun kedai kecil milik kakek yang diberikan kepada nenek dan kini milikku ini, saya berhasil menggembalikan pelanggan yang dulu sering tiba ke kedai nenekku lagi dengan santunan matahari. Pak Abid yang penuh dengan penyesalan ia memberanikan diri meminta maaf kepada masyarakat dan kepadaku, ia menyadari apa yang ia lakukan salah. Pak Abid tak ingin dibenci putri satu-satunya yang ia sayangi yaitu matahari. Kini bintangku diatas sana melihatku sedang bersama matahari, saya tahu kalau nenek senang dan tersenyum di langit ke tujuh.
Karya : Anissah Balqis Anggraini
Karya : Anissah Balqis Anggraini
Sumber http://rajebgroups.blogspot.com