halo mitra kawan semuanya, kali ini saya akan membagikan artikel perihal Indonesia, Andalusia Baru? artikel ini saya sanggup dari situs dw indonesia. dan artikel ini yakni karya Zacky Khairul Umam, dia adalah Ketua Tanfidz Nahdlatul Ulama di Jerman. agar bermanfaat :)
Kita boleh berdebat: Indonesia bukan Andalusia. Indonesia yakni proyek modern, sementara Andalusia sekarang tinggal nama. Namun, kala “Indonesia” belum menjadi nama dan kesadaran massa, elit nasionalis Mesir Mustafa Kamil Pasya menulis tajuk “Andalusia baru.” Diterbitkan di korannya sendiri Al-Liwa' (“Standar”) pada 11 Mei 1904, tajuk itu khusus menunjuk tanah air kita sebagai mercusuar yang punah dari peradaban Islam. Konon, Rasyid Ridha, pemikir beken di Kairo, juga menyebut tanah air kita sebagai “Andalusia kedua.
![]() |
ilustrasi andalusia |
Citra itu pernah dinukil Michael Laffan, sejarawan Australia di Universitas Princeton. Masih misterius bagaimana kedua penulis itu mendapatkan warta dari orang Jawi, sebutan umum untuk Muslim dari Asia Tenggara kala itu. Setidaknya, tamsilan itu merupakan sebuah harapan, setidaknya masih berkesinambungan sampai kini.
Anggap saja kita sedang mencari sebuah prototipe ideal sebuah peradaban Muslim yang majemuk. Yakni, sebuah fase dinamis yang sisa-sisa khayalannya pernah membawa Afonso de Albuquerque, ke Nusantara dan menaklukkan Malaka, 1511.
Andalusia dan anjuran pluralisnya
Sebagai kebudayaan besar, Andalusia mengatakan anjuran perihal pluralisme. Yakni, sebuah dongeng kala bermacam-macam penganut agama hidup bersama. Rasionalisme dan humanisme berkembang, sampai memberkan landasan penting bagi Eropa sebagai “dunia yang baru”. Gagasan mengalir bebas di antara banyak sekali komunitas agama, tak mengenal batas komunal dan identitas yang picik. Satu sama lain terjerat dalam proyek kebudayaan yang berkelindan.
Negara otonom (taifah) Andalusia di Granada, Sevilla dan Sargossa, misalnya, para aristokrat Yahudi pernah menjadi perdana menteri dan sekretaris penting. Tercatat pada kurun ke-11, Samuel bin Naghrilah, figur Yahudi paripurna, yakni perdana menteri di Granada dengan privilese kekuasaan yang besar.
Keintiman Yahudi dan Islam
Selain ragam jabatan publik, ada banyak penyair dan filsuf yang hidup dari berkah ekonomi kala itu. Pada kurun ke-12, Musa bin Maimun, yang dikenal sebagai Maimonides, merupakan pemikir Yahudi yang ikut meramaikan wacana filsafat Islam. Ini hanya segelintir rujukan perihal intimnya umat Yahudi dan Islam masa itu.
Tentu saja kritik mengemuka. Ada yang tak suka pada keputusan untuk memfavoritkan Yahudi untuk menempati jabatan publik. Ini tanda-tanda psikologis yang wajar. Sumber-sumber kesejarahan pada umumnya menghargai keterlibatan non-muslim dalam urusan ketatanegaraan dan kehidupan sosial yang menjadi penanda dari energi kosmopolitan yang pernah dialami umat Muslim.
Runtuh akhir fundamentalisme
Sebelum Andalusia jatuh di tangan Monarki Nasrani kurun ke-15, ia bekerjsama perlahan-lahan menyusut dari dalam disebabkan oleh kekuasaan yang ditopang fundamentalisme agama. Ini terjadi semenjak Andalusia dicaplok oleh rezim al-Murabitun, dan lebih parah lagi dikala dipegang rezim al-Muwahhidun.
Karya-karya al-Ghazali saja dibakar oleh keputusan politik, serupa ketakutan penguasa Kristen pada karya-karya Ibnu Rusyd. Perlahan tapi niscaya Andalusia tidak lagi menjadi ideal bagi kemajemukan. Penganiayaan dan pembunuhan atas non-muslim meningkat. Filsafat menurun drastis. Keluarga beken Yahudi eksil, berpindah melalui jaringan Mediterania di dunia muslim yang lain. Dalam masa sekarang yang jauh lebih maju tetapi juga rumit, seharusnya banyak sekali jabatan publik yang dikuasakan kepada non-Muslim sudah tidak menjadi pertanyaan lagi. Entah itu di kementerian, gubernur provinsi, dan tingkat di bawahnya. Ukuran konstitusi, yang kita anggap sebagai kontrak sosial-politik yang mengikat, sudah jelas: kewarganegaraan.
Ini bahkan mengandung pengertian radikal bahwa siapapun boleh menjadi Presiden Republik Indonesia. Bahwa siapa yang alhasil lolos dalam perundingan politik melalui pemilu yakni hasil dari bunyi mayoritas—suatu citra psikologis yang wajar, menyerupai halnya terjadi dalam politik protestanisme Amerika yang mempunyai kisah tragis John F. Kennedy pengikut Nasrani Roma itu.
Menjaga gerak ke-Indonesiaan
Tepat ketika Bung Karno menggambarkan kemerdekaan bangsa Indonesia sebagai jembatan emas. Ini mengandung banyak sekali kemungkinan. Apakah kemungkinan pengalaman ber-Indonesia kita menjadi suatu masa yang didambakan atau sebaliknya yakni sesuai dengan pilihan dan seni administrasi politik kita. Untuk menghindari dari segala macam determinisme atau nrimo, umat muslim perlu mereformulasi kembali mengenai pengertian teologis “kuasa insan untuk bertindak” (qudrah alias ‘kodrat' dan istita'ah alias ‘kemampuan') yang selama ini dianggap pasif. Dalam memperjuangkan keidealan/keindonesiaan, selalu ada pihak yang bersebarangan, besar atau kecil, menyerupai halnya ditunjukkan sebagian kritik pada penguasa Andalusia yang memfavoritkan jabatan publik untuk non-Muslim. Maka, perjuangan keras kita harus tetap menjaga gerak keindonesiaan kita yang semangat dan gairah pendiriannya sudah berdenyut seirama dengan detak jantung keislaman.
Manakala nalar takfir lebih mengemuka, dan kita kerap fobia dengan simbol dan buku yang belum tentu sebuah “bahaya laten”, Indonesia yang semestinya lebih besar atau melampaui dari pengalaman Andalusia, justru masih kerdil imajinasinya. We have “islands of imagination,” haven't we?
Penulis:
Zacky Khairul Umam, Ketua Tanfidz Nahdlatul Ulama di Jerman, kandidat doktor di Freie Universitaet Berlin.
@zackykumam
Sumber http://www.elysetiawan.com