Sunday, May 6, 2018

√ Cerita Nenek Pemungut Daun


Dahulu di sebuah kota di Madura, ada seorang nenek bau tanah penjual bunga cempaka. Ia menjual bunganya di pasar, sesudah berjalan kaki cukup jauh. Usai jualan, ia pergi ke masjid Agung di kota itu. Ia berwudhu, masuk masjid, dan melaksanakan salat Zhuhur. Setelah membaca wirid sekedarnya, ia keluar masjid dan membungkuk-bungkuk di halaman masjid. Ia mengumpulkan dedaunan yang berceceran di halaman masjid.

Selembar demi selembar dikaisnya. Tidak satu lembar pun ia lewatkan. Tentu saja agak usang ia membersihkan halaman masjid dengan cara itu. Padahal matahari Madura di siang hari sungguh menyengat. Keringatnya membasahi seluruh tubuhnya. Banyak pengunjung masjid jatuh iba kepadanya.

Pada suatu hari Takmir masjid memutuskan untuk membersihkan dedaunan itu sebelum wanita bau tanah itu datang. Pada hari itu, ia tiba dan pribadi masuk masjid. Usai salat, dikala ia ingin melaksanakan pekerjaan rutinnya, ia terkejut.
Tidak ada satu pun daun terserak di situ. Ia kembali lagi ke masjid dan menangis dengan keras. Ia mempertanyakan mengapa daun-daun itu sudah disapukan sebelum kedatangannya. Orang-orang menjelaskan bahwa mereka kasihan kepadanya. “Jika kalian kasihan kepadaku,” kata nenek itu, “Berikan kesempatan kepadaku untuk membersihkannya.”

Singkat cerita, nenek itu dibiarkan mengumpulkan dedaunan itu ibarat biasa. Seorang kiai terhormat diminta untuk menanyakan kepada wanita itu mengapa ia begitu bersemangat membersihkan dedaunan itu. Perempuan bau tanah itu mau menjelaskan sebabnya dengan dua syarat, pertama, hanya Kiai yang mendengarkan rahasianya, kedua, diam-diam itu dihentikan disebarkan dikala ia masih hidup. Sekarang ia sudah meniggal dunia, dan Anda sanggup mendengarkan diam-diam itu.

“Saya ini wanita bodoh, pak Kiai,” tuturnya. “Saya tahu amal-amal saya yang kecil itu mungkin juga tidak benar saya jalankan. Saya mustahil selamat pada hari selesai tanpa syafaat Kanjeng Nabi Muhammad saw. Setiap kali saya mengambil selembar daun, saya ucapkan satu shalawat kepada Rasulullah. Kelak jikalau saya mati, saya ingin Kanjeng Nabi menjemput saya. Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa saya membacakan shalawat kepadanya.”

Perempuan bau tanah dari kampung itu bukan saja mengungkapkan cinta Rasul dalam bentuknya yang tulus. Ia juga menawarkan kerendahan hati, kehinaan diri, dan keterbatasan amal dihadapan Allah SWT. Lebih dari itu, ia juga mempunyai kesadaran spiritual yang luhur. Ia tidak sanggup mengandalkan amalnya. Ia sangat bergantung pada rahmat Allah. Dan siapa lagi yang menjadi rahmat semesta alam selain Rasulullah SAW.

Sumber http://arief-ardiansyah.blogspot.com