Oleh Linda
Didi punya kelereng baru, buah tangan dari sahabat sebangkunya yang berlibur ke luar negeri. Bagi Didi, kelereng itu yaitu kelereng terbagus di antara semua kelereng yang pernah dilihatnya. Warnanya biru bening ibarat permata. Saking sayangnya pada kelereng itu, Didi tak pernah memainkannya. Kelereng itu disimpan di laci meja belajarnya. Dan hanya diambil sesekali bila ia ingin mengamati keindahan warnanya.
Didi memiliki seorang adik pria yang berumur lima tahun. Namanya Lodi. Lodi ingin sekali meminjam kelereng itu, namun tak pernah dikabulkan Didi. “Sst... anak kecil nggak boleh pegang kelereng ini. Nanti rusak!” jawab Didi setiap kali Lodi merengek.
Suatu sore, Didi sibuk mengerjakan PR IPA. Lodi masuk ke kamarnya dan mulai merengek ingin meminjam kelereng itu. Didi akal-akalan tidak mendengar seruan adiknya. Akibatnya, Lodi mulai menangis menjerit-jerit.
“Wah, gawat jikalau terdengar Ibu!” gerutu Didi. Karena kehabisan akal, Didi akhirnya berkata, “Kamu boleh pinjam jikalau kelerengnya sudah sudah matang. Sekarang masih mentah!”
Ternyata Lodi mempercayai ucapan kakaknya. Ia eksklusif berhenti menjerit-jerit. “Kapan matangnya, Kak?” tanya Lodi gembira.
Didi terkejut. Tak disangka adiknya gampang dikelabui. Akhirnya Didi melanjutkan kisah bohongnya, “Ayah dan Ibu tak boleh tahu soal kelereng ini! Sekarang sedang diperam di laci. Tak boleh dilihat! Nanti jikalau sudah matang, warnanya akan lebih bagus. Sangat cemerlang, bersinar ibarat lampu. Kalau sudah matang, Lodi boleh pinjam sepuas hati,” terang Didi dengan wajah serius.
Beberapa Minggu berlalu, Lodi mulai tidak sabar. Pada suatu siang, dikala Didi sedang sibuk menyiapkan buku kursusnya, Lodi masuk ke kamar Didi.
“Lodi ingin lihat kelerengnya, Kak. Kan, sudah usang sekali diperamnya,” gerutu Lodi dengan wajah cemberut.
“Kelerengnya masih belum matang! Kalau sedang diperam, dihentikan dilihat! Lacinya dihentikan dibuka!” tukas Didi cepat. Ia takut Lodi nekat megambil kelerengnya.
“Tapi kenapa usang sekali? Bagaimana caranya semoga cepat matang? Tanya Lodi heran.
Didi tidak mengindahkan pertanyaan adiknya. “Pokoknya kelerengnya itu masih mentah, belum bersinar ibarat lampu. Sekarang abang mau kursus dulu, takut terlambat,” kilahnya sambil bergegas keluar kamar.
Lodi merasa tidak puas alasannya yaitu pertanyaannya belum dijawab. Ia akhirnya mencari Ibu di dapur. Ibu sedang asyik menimbang banyak sekali materi untuk menciptakan kue.
“Asyik! Ibu mau buat camilan manis apa? Lodi ikut, Bu,” seru Lodi gembira.
“Ibu mau buat camilan manis kering Nastar. Nanti jikalau semua materi ini sudah digabungkan jadi satu adonan, Lodi bantu Ibu mengisinya dengan selai nanas, ya,” kata Ibu.
Lodi mengamati Ibu mengaduk tepung terigu, gula margarin, dan kuning telur. Setelah bahan-bahan itu tercampur rata, hasilnya berupa gabungan liat berwarna kuning terang. Ibu mengambil gabungan tersebut satu sendok makan, menaruh sedikit selai nanas di dalamnya, membentuk gabungan ibarat bola, kemudian meletakkannya di loyang.
Lodi menggandakan cara Ibu membentuk adonan. Ia berhasil membuatnya, walaupun sedikit benjol-benjol, tidak sebagus buatan ibu. Setelah menciptakan beberapa buah, ia mulai tergiur untuk mencicipinya. “Kelihatannya enak, Bu. Lodi boleh minta satu?” pinta Lodi.
“Tentu saja tidak boleh. Rasanya niscaya tidak yummy alasannya yaitu masih mentah. Supaya matang, harus dipanggang dulu di oven,” jawab ibu.
“Ooooh...jadi ini masih mentah. Supaya matang, harus dipanggang dulu di oven... Lodi mengerti sekarang!” Lodi mengangguk-angguk gembira dan eksklusif melesat pergi meninggalkan dapur.
Lodi masuk ke kamar Didi. Ia mengambil kelereng Didi dari dalam laci meja belajar. Diamatinya kelereng itu penuh kekaguman. “Warnanya anggun sekali. Seperti apa ya warnanya jikalau sudah dipanggang? Pasti Kak Didi bahagia jikalau Lodi bantu semoga kelereng ini cepat matang,” kata Lodi di dalam hati.
Lodi kemudian balik ke dapur dan kembali membentuk gabungan menjadi bola-bola. Tanpa sepengetahuan ibu, Lodi memasukkan kelereng Didi pada satu bola.
Ketika Didi pulang dari kursus Inggris, Lodi berlari-lari menyambutnya dengan ceria. “Kak, Lodi tadi bantu ibu buat camilan manis Nastar. Tadi ada satu camilan manis yang tidak di isi dengan selai nanas. Lodi isi dengan kelereng Kakak yang anggun itu. Ikut dipanggang semoga cepat matang,” kisah Lodi dengan bangga.
Didi sangat terkejut. Ia melempar tasnya sembarangan kemudian berlari menuju dapur. Harum camilan manis kering Nastar menyambutnya. Dilihatnya Ibu sedang mengeluarkan dua buah loyang dari oven.
“Mana camilan manis buatan Lodi?” teriak Didi dengan wajah pucat pasi.
“Ini. Baru matang, masih hangat. Ada apa, Didi?” tanya ibu heran sambil menunjuk sebuah loyang berisi belasan camilan manis kering Nastar yang bentuknya benjol-benjol.
“Dimana kamu?” keluh Didi lemas. Ia kebingungan, tak tahu di dalam camilan manis yang mana kelerengnya “bersembunyi”. Sesaat kemudian diambilnya sebuah sendok. “Aduh, gara-gara berbohong, balasannya begini. Pasti rusak. Pasti warnanya jadi jelek. Dimana kamu?” keluhnya berulang-ulang sambil memukuli camilan manis kering buatan Lodi satu persatu hingga hancur. Didi menyesal sekali telah berbohong. Sementara itu, ibu dan Lodi tercengang keheranan melihat tingkah Didi...
Sumber http://campusnancy.blogspot.com