Waktu saya tiba ke Jepang tahun 2004 lalu, saya dalam keadaan hamil (ini pun tahunya, ketika tes kesehatan sesudah saya dinyatakan keterima kerja di Kantor Walikota Kochi). Selain beradaptasi dengan lingkungan kerja baru, yang saya lakukan pada ketika awal kedatangan yaitu mencari rumah sakit untuk kontrol kehamilan dan melahirkan nanti. Dalam investigasi rutin tersebut, saya sering mendapatkan nasihat-nasihat dari perawat maupun bidan di sana. Salah satunya yaitu “kalau bisa, baju bayinya nggak usah beli. Baju bekas dari kenalan saja, alasannya yaitu belum dewasa kan cepat besar. Makara sayang jikalau beli baru.”
Semula saya kaget, eits… di negara sebesar Jepang ternyata ada ya sistem melungsurkan barang. Mereka menyebutnya おさがり (osagari). Ternyata barang-barang lungsuran ini berputar. Sewaktu anak saya masuk 保育園 (hoikuen = prasekolah/penitipan), saya sering menerima barang bekas dari siswa yang lebih besar, atau memperlihatkan barang bekas anak saya kepada siswa yang lebih kecil. Biasanya sih, baju atau sepatu. Ketentuan di penitipan daerah belum dewasa saya yaitu memberi nama semua barang yang dibawa ke sekolah. Makara jikalau sepatunya dilungsurkan, nama yang usang akan dicoret, dan diganti dengan nama pemilik yang baru. Dan itu yaitu sesuatu yang wajar, bukan sesuatu yang dianggap memalukan. Di Jepang, biasanya orang-orang secara rutin mengganti baju yang dimasukkan lemari sesuai musimnya, hal itu disebut 衣替え(koromo gae). Nah, pada momen ini biasanya saling bertanya “Ini saya ada baju/sepatu ukuran sekian cm, mau pakai tidak?”
Saya suka cara ini, alasannya yaitu sanggup berhemat dan mengurangi sampah. Tapi sayangnya, sesudah saya balik ke Surabaya, saya tidak terlalu melihat kebiasaan memutar barang ini. Mungkin pada merasa segan memberi barang bekas ke orang lain… Padahal sih, tolong-menolong nggak masalah. Bagaimana berdasarkan kalian?
Sumber https://wkwkjapan.com