Friday, November 23, 2018

√ Biografi Ra Kartini - Pendekar Pergerakan Nasional

RA (Raden Ajeng) Kartini dalam biografinya merupakan seorang p0juang emansipasi perempuan Indonesia. Kehidupan keluarga aristokrat Jepara tampaknya tidak berhasil menarik hati RA Kartini untuk hidup bermewah-mewah. Kala itu, Kartini justru sibuk memikirkan kaumnya (perempuan Indonesia) supaya bisa mendapat Pendidikan dan berbuat lebih banyak lagi. Semangatnya yang begitu gigih untuk memajukan perempuan terangkum dengan terang dalam karyanya Habis Gelap Terbitlah Terang. Kartini memang sudah usang tiada, tapi jati diri Pahlawan Pergerakan Nasional ini akan terus menjadi ide dalam usaha perempuan. Jejak usaha yang mengagumkan itulah yang berusaha kami angkat kembali melalui Biografi ini.

Biografi RA Kartini (1879 - 1904)

 dalam biografinya merupakan seorang p0juang emansipasi perempuan Indonesia √ Biografi RA Kartini - Pahlawan Pergerakan Nasional

Biodata Raden Ajeng Kartini

Lahir: Jepara, 21 April 1879
Meninggal: Rembang, 17 September 1904
Dimakamkan: Makam Keluarga Kartini
Pasangan/Suami: Raden Adipati Joyodiningrat
Anak: Soesalit Djojoadhiningrat
Orang tua: Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat (Ayah) & M.A. Ngasirah (Ibu)
Pendidikan: E.L.S. (Europese Lagere School)
Karya: Habis Gelap Terbitlah Terang
Penghargaan: 
  • Pahlawan Pergerakan Nasional (1964)
  • Hari lahirnya ditetapkan sebagai Hari Kartini

Biografi Raden Ajeng Kartini

Raden Ajeng Kartini dilahirkan di Jepara, Jawa Tengah, tanggal 21 April 1879. Ayahnya yakni Bupati Jepara, Raden Mas Adipati Aria Sosroningrat, yang tercatat merupakan salah seorang dari 4 orang berpangkat Kanjeng Bupati yang saat itu bisa membaca, menulis dan berbicara dalam bahasa Belanda. Dengan status jabatan ayahnya yang tinggi memungkinkan bagi Kartini untuk bersekolah. Namun ada batasan yang mustahil rasanya untuk dilanggar, sekalipun Ia anak Bupati: masa sekolahnya harus 'tamat' saat usianya telah menginjak 12 tahun. Wanita berusia 12 tahun harus dipingit. Tidak diperkenankan keluar rumah lagi. Tugasnya hanya tinggal menunggu lelaki yang kelak tiba untuk melamarnya. Ia akan membentuk keluarga baru. Dan kelak kalau Ia memiliki anak perempuan, ia pun akan menerapkan 'sistim' itu pula guna melestarikan watak istiadat leluhur. Begitu yang terjadi pada perempuan Jawa waktu itu dan begitu pula yang harus dilakukan Kartini. Padahal Kartini memiliki harapan yang amat tinggi. Ia ingin menjadi guru.

Ketika memasuki masa 'penantian' lelaki yang akan tiba melamarnya, Kartini masih diperbolehkan 'berteman' dengan buku. Namun justru alasannya yakni 'teman' nya itu wawasan dan pengetahuannya malah semakin terbuka. Ia malah semakin mengerti, adat-istiadat yang harus dipegangnya teguh-teguh ternyata erat-erat membelenggunya. Adat istiadat itu berlawanan dengan kodratnya sebagai manusia. Ia sangat yakir. Tuhan tidak pemah sekali-kali salah membuat dirinya sebagai insan berjenis kelamin wanita. Yang terang salah yakni makhluk ciptaan Tuhan berjulukan insan yang membuat watak istiadat itu! Adat istiadat yang membuat cita-citanya menjadi guru laksana menyentuh langit!

Kartini sangat gelisah. Berulang-ulang Ia bertanya pada dirinya sendiri, mengapa hal itu harus terjadi? Mengapa kaum lelaki tidak harus mengalami menyerupai yang dialami diri dan kaumnya? Namun ia tidak menemukan balasan yang memuaskan kegelisahannya. Yang ia tahu, itu semua alasannya yakni adanya pagar teramat besar lengan berkuasa berjulukan adat-istiadat. Itu saja.

Terbetik pula keinginan Kartini untuk melompati pagar teramat besar lengan berkuasa itu dan ia yakin bisa melakuk annya. Ia merasa bisa mengejar cita-citanya menjadi guru. Namun yang tidak bisa dan mustahil dilakukannya yakni mencorengkan arang di kening orang tuanya. Pendobrakannya pada watak istiadat sudah niscaya akan membuat orang tuanya mendapat aib dan kehinaan yang sangat. Jelas Ia tidak berani dan juga tidak berniat membuat ayah dan ibunya mendapat aib dan kehinaan atas kelakuannya. Namun, apa yang harus Ia lakukan? Kartini tidak tahu balasan pastinya. Dan itu semakin membuatnya gelisah.

Segala yang meresahkan hatinya, segala yang memenuhi benak dan pikirannya serta segala yang dirasakannya dengan kodratnya sebagai perempuan Jawa diungkapkannya melalui surat-surat yang lantas dikirimkannya ke sobat dekatnya, Abendanon, yang menjadi Direktur Pengajaran Belanda. Kelak, kumpulan surat-surat Kartini itu dibukukan dan diberi judul Door Duistemis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Selain surat langsung kepada Abendanon, Kartini juga mengirimkan surat permohonan untuk mendapat bea siswa untuk bersekolah di Belanda.

Dalam masa pingitan, Kartini memang sempat 'melawan' pagar besar lengan berkuasa itu. Perlawanannya ditunjukkannya dengan membuka Sekolah bagi ának-anak perempuan yang tinggal di sekitar kediamannya. Ia mengerti, amat banyak perempuan yang sama sekali tidak pernah mendapat pendidikan. Ia ingin berbagi. Diajarinya bawah umur perempuan itu membaca, berhitung, menyanyi dan aneka keterampilan layaknya yang biasa didapatkan di sekolah. Ia sangat bahagia bisa berbuat itu. Kepuasannya menjadi ‘guru’ sejenak mengobati kerinduannya untuk menjadi guru yang sesungguhnya.

Pagar besar lengan berkuasa berjulukan watak istladat itu hampir saja bisa dilompati Kartini saat tiba surat dari Belanda yang mengabulkan permohonannya untuk bersekolah di Belanda. Bea siswa telah tersedia untuknya. Cita citanya menjadi guru bukan lagi menyerupai menyentuh langit baginya. Namun surat itu tiba tidak sempurna waktu. Masa pingitannya hampir berakhir. Bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat telah siap menjadi suaminya. Ia harus memasuki pintu rumah tangganya sendiri. Cita-citanya menjadi guru kembali laksana menyentuh langit!

Sekalipun dari balik tembok pingitan namun Kartini tahu, ada seorang cowok cerdas yang sangat membutuhkan bea siswa untuk melanjutkan pendidikannya. Pemuda itu bukan berasal dari sukunya. Ia berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Agus Salim namanya. Kartini ingin berbuat baik bagi sahabat Sebangsanya itu. Ia pun kembali mengirimkan surat ke Belanda dan memohon biar bea siswa itu diberikan kepada Agus Salim. Sayang, Agus Salim tidak memanfaatkan kebaikan Kartini itu dengan alasan yang hanya Agus Salim sendiri saja yang tahu.

Kartini seketika melupakan keindahan suasana berguru di negeri Belanda saat ia telah membuka pintu rumah tangganya sendiri. Ia telah bersuami. Ia telah menjadi milik seorang lelaki. Ia harus melayani lelaki itu dengan sebaik-baiknya menyerupai yang dilakukan ibunya terhadap ayahandanya. Sayang, usia Kartini tidak sepanjang angan-angan dan harapannya. 3 hari setelah melahirkan putranya, Kartini kembali kepada Tuhan Yang Maha Pencipta dalam usianya yang terbilang sangat muda, 25 tahun. Ia meninggal dunia 17 September 1904. Raden Ajeng Kartini telah tiada. Keinginannya untuk melompati pagar besar lengan berkuasa bemama watak istiadat itu sekarang telah diwakili perempuan-perempuan Indonesia. 

Habis Gelap Terbitlah Terang benar-benar menjadi kenyataan. Kondisi 'gelap' yang dialami Kartini telah berubah 'terang benderang' bagi perempuan-perempuan Indonesia lainnya. Itulah jasa besar Kartini yang tiada mungkin dilupakan oleh perempuan-perempuan Indonesia yang menjadi bebas sebebas-bebasnya untuk meraih apapun juga yang menjadi cita-citanya. Perjuangan yang dilakukan Raden Ajeng Kartini sangat dihargai Pemerintah Indonesia sampai putrid Jepara yang anggun itu dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional pada tahun 1964. 

Sekian uraian wacana Biografi RA Kartini - Pahlawan Pergerakan Nasional, semoga bermanfaat.

Referensi:
  • Komandoko, Gamal. 2007. Kisah 124 Pahlawan & msdhdfang Nusantara. Yogyakarta: Pustaka Widyatama 

Sumber http://www.ilmusiana.com