Di antara ancaman dosa atas masyarakat yakni runtuhnya benteng yang menghalangi ruh hewani dalam diri manusia. Benteng-benteng penghalang itu disebutkan dengan aneka macam ungkapan dalam hadis dan riwayat.Imam Ja`far Al-Shadiq (as) berkata: “Sesungguhnya Allah swt mempunyai empat puluh macam perisai penjagaan yang diberikan kepada hamba-Nya yang mukmin. Jika hamba itu melaksanakan sebuah dosa besar, maka akan diangkatlah satu penjagaan dari dirinya.” (Al-Ikhtishash: 220)
Rasulullah saw bersabda: “Orang mukmin mempunyai tujuh puluh dua tirai. Jika dia melaksanakan sebuah dosa maka akan runtuhlah satu tirai darinya …” (Al-Bihar 73: 362)
Dalam doa Kumail bin Ziyad dari Imam Ali bin Abi Thalib (as) disebutkan: “Ya Allah, ampuni dosa-dosaku yang meruntuhkan penjagaan.”
Ada beberapa naluri yang sama-sama dimiliki oleh insan dan hewan, yang dianugerahkan oleh Allah swt. Bagi manusia, naluri itu mengandung suatu hikmah, begitu pula naluri yang sama yang dititipkan Allah pada binatang. Semua itu untuk mengantarkan hidupnya pada kesempurnaan yang dicarinya. Dan naluri yang ada dalam diri insan itu merupakan salah satu kondisi jiwa manusia.Manusia dan binatang sama-sama dilengkapi naluri semenjak dilahirkan. Di antara naluri itu ialah cinta pada diri sendiri, nafsu makan, nafsu secual, marah, dan mempertahankan diri.Yang membedakan antara insan dan binatang dalam hal ini yakni insan dengan kesempurnaan nalar dan pikirannya secara sedikit demi sedikit bisa menyelamatkan keliaran nalurinya semoga tunduk pada nalar pikirannya, serta menempatkan nalar sebagai penguasa atas wujudnya. Adapun binatang, mereka hidup di bawah kekuasaan nalurinya semenjak lahir hingga mati.
Hanya manusialah yang bisa menguasai naluri kebinatangan yang tumbuh dalam dirinya semoga menjadi sifat-sifat insani. Dan kalau sifat-sifat ini tidak tumbuh dalam dirinya, maka dia tidak lebih daripada binatang, bahkan lebih sesat ketimbang binatang.
Apa yang kita bicarakan ini contohnya sangat banyak. Untuk memperjelas konsep penjagaan (al-’isham) dan perisai (al-junnah) serta kata-kata lain yang semakna dengannya, yaitu sekat yang menghalangi kita semoga tidak terjatuh ke dalam dosa, kami kemukakan di sini beberapa pengantar untuk itu.
Tubuh dan Ruh
Tubuh ialah pecahan anggota yang tampak pada tubuh manusia, sedangkan ruh ialah kekuatan yang menggerakkan dan mengarahkan anggota-anggota tersebut. Dalam nash-nash Islam, ruh diungkapkan dalam aneka macam kata, contohnya jiwa (al-nafs), dan kadangkala memakai kata hati (al-qalb). Sebagian ulama membagi wujud insan menjadi tubuh Uism), ruh (ruh), dan jiwa (nafs). Tidak terlalu penting bagi kita untuk memperhatikan pembagian tersebut, karena kita mesti memfokuskan pembicaraan kita pada jiwa, baik yang disebut dengan istilah ruh atau yang lainnya.
Dalam dunia binatang, tidak dikenal makna keadilan dan persamaan, menghormati hak-hak yang lemah, formulasi saleh dan tidak saleh, dan konsep-konsep kemanusiaan yang dijunjung tinggi terhadap yang lain. Tujuan janjkematian binatang ialah memuaskan nalurinya sendirinya walaupun untuk itu harus mengorbankan bangsanya sendiri.
Kita seringkali melihat seekor burung terbang berputar-putar cukup lama, berusaha dengan keras mencari makanannya. Ketika ia telah mendapat kuliner itu, tiba-tiba ada burung lain yang mematuk kepalanya. Akhirnya, jatuhlah kuliner dari paruh burung yang mencari kuliner itu dan diambil oleh burung yang mematuknya.
Tidak jarang kita melihat seekor anjing yang dengan lahapnya menyantap daging bangkai keledai. la memakannya kekenyangan, dan kuliner itu hingga ke tenggorokannya. Tetapi ia tidak memperbolehkan anjing-anjing yang lain untuk ikut menikmati bangkai itu.
Imam Ali bin Abi Thalib (as) mengatakan:“Sesungguhnya cita-cita binatang itu yakni mengenyangkan perutnya, dan cita-cita binatang buas itu yakni bermusuhan dengan yang lainnya….”
Dalam suratnya yang dikirimkan kepada pembantunya di Basrah, Utsman bin Hunayf, Imam Ali bin Abi Thalib (as) mengatakan:“Apakah saya harus puas terhadap diriku yang dikatakan sebagai amir al-mu’minin dan saya tidak ikut serta bersama mereka dalam mencicipi pahitnya hidup ini, ataukah saya mesti menjadi pola bagi mereka untuk menikmati hidup ini? Diriku tidaklah diciptakan untuk sibuk memakan yang enak-enak ibarat binatang yang terikat yang keinginannya hanyalah mendapat rumput, atau binatang yang diumbar yang keinginannya menyikat habis rerumputan, dan bersenang-senang sesuai dengan keinginannya.” (Nahj Al-Balaghah, Syarh Muhammad Abduh, 4: 505)
Untuk menghadapi sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri manusia, dalam diri insan telah dilengkapi dengan sifat-sifat kemanusiaan yang tinggi untuk membedakan antara dirinya dan binatang, dan untuk menjadikannya sebagai makhuk yang istimewa di atas nilai-nilai yang tidak ada pada kehidupan binatang. Ketika insan melepaskan keliaran nafsu syahwatnya, maka syahwat itu akan menerjang dan mengoyakkan batas-batas kemanusiaannya. Pada gilirannya, insan akan berkembang menjadi binatang liar ibarat binatang yang berkeliaran di hutan.
Allah swt hendak memuliakan bawah umur Adam. Oleh karena itu, Dia menawarkan potensi semoga sanggup mengendalikan nafsunya dan mencegahnya untuk tidak terjerumus ke dalam dunia binatang. Potensi itulah yang membuahkan sifat “rasa malu”. Rasa malu merupakan sifat kemanusiaan yang mendorong insan untuk mencapai kemuliaan dan menjauhkannya dari kejelekan.
Imam Ja`far Ash-Shadiq (as) berkata kepada muridnya:“Lihatlah olehmu wahai Mufadhdhal keistimewaan yang dimiliki oleh insan yang tidak dimiliki oleh binatang. Penghormatannya sangat mulia, kehati-hatiannya sangat tinggi, yang saya maksudkan yakni rasa malunya. Kalaulah tidak ada sifat-sifat ini, pasti tamu-tamu tidak dihormati, janji-janji tidak ditepati, keperluan-keperluan tidak dipenuhi, yang baik tidak dicari, dan yang buruk tidak dihindari. Bahkan sebagian besar kewajiban dikerjakan karena rasa malu itu. Jika tidak ada sifat rasa malu dalam diri manusia, pasti dia tidak akan menghormati hak-hak kedua orangtuanya, tidak akan menyambungkan tali silaturahim dengan kerabatnya, tidak akan menunaikan amanat, dan tidak akan merasa malu mengerjakan kekejian.” (Bihar Al-Anwar 3:81)
Dari hadis-hadis sebelumnya dapatlah ditegaskan bahwa ada dosa sanggup meruntuhkan penjagaan dan menghancurkann perisai yang menghalangi insan dari dunia binatang.
Dosa Apakah yang Meruntuhkan Penjagaan?
Di sini kami hanya akan menyebutkan dosa yang terdapat dalam hadis Imam Ali Zainal Abidin (as) , kemudian kami akan menguraikan secara ringkas.
Imam Ali Zainal Abidin (as) berkata:“Dosa-dosa yang meruntuhkan penjagaan ialah: meminum khomer, bermain jodi, melucu yang membuat insan tertawa, menyebutkan malu orang lain, bergaul dengan orang-orang yang penuh keraguan.” (Ma’ani Al-Akhbar: 27)
Pertama: Minum Khomer
Inilah dosa pertama yang mendorong insan semoga terjerumus kepada kehinaan. Sebabnya sangat jelas. Minum khomer sanggup merenggut daya kemauan yang mengendalikan syahwat manusia. Oleh alasannya yakni itu, runtuhlah salah satu perisai yang menjaga insan yaitu rasa malu dan menanglah syahwatnya. Pada risikonya insan berada dibawah kekuasaan penuh syahwatnya, yang akan menggiringnya dan menjadikannya binatang yang sangat liar.
Imam Ali bin Musa Al-Ridha (as) mengatakan:“Sesungguhnya Allah swt mengharamkan khomer karena di dalamnya ada kerusakan dan menghilangkan akal, serta melenyapkan rasa malu dari wajahnya.” (Ma’ani Al-Akhbar: 27).
“..Allah mengharamkan khomer karena di dalamnya terdapat kerusakan dan perubahan nalar peminumnya. Juga menimbulkan pengingkaran terhadap Allah swt, mewaspadai para Rasul-Nya, kerusakan, pembunuhan, menuduh orang lain, perzinaan, dan gampang melaksanakan hal-hal yang haram…” (Al-Mustadrak 3:137)
Rasulullah saw bersabda:“Seorang hamba akan tetap berada di bawah penjagaan Allah swt hingga dia minum khomer. Jika dia telah meminumnya, maka Allah akan menghanguskan perisainya. Dia akan dibimbing oleh setan dan teman-temannya yakni Iblis. Pendengaran, penglihatan, tangan, dan kakinya akan digiring kepada semua kejahatan, dan akan dibelokkan dari setiap kebaikan.”(Al-Wasail 3: 357)
Ketika syahwat telah menguasai insan yang teracuni khomer, ia akan menggiringnya pada kehinaan dan melupakan kemanusiaan, kewarasan, kehormatan, dan rasa malunya. Oleh karena itu, Rasulullah saw bersabda ihwal khomer ini: “Khomer yakni kejahatan.”(Ushul Al-Kafi, 4:35)
Imam Muhammad Al-Baqir (as) berkata:“Allah membuat gembok bagi kejahatan dan menjadikan kunci bagi gembok itu, yaitu minuman keras …” (Furu’ Al-Kafi,6: 403)
Memang, minuman khomer yakni kunci bagi setiap kehinaan dan kejahatan, karena:“Peminum khomer apabila sedang meminumnya akan melaksanakan perzinaan, pencurian, dan pembunuhan jiwa-jiwa yang diharamkan oleh Allah, serta meninggalkan shalat,” ibarat hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib (as).” (Al-Mustadrak, 3:139)
Kedua: Perjodian
Di antara faktor lain yang meruntuhkan penjagaan insan ialah perjodian. Perjodian merupakan dasar bagi laba dan kerugian yang tak teratur. Pada satu ketika dia merupakan jalan bagi insan untuk tiba-tiba menjadi kaya-raya, mempunyai harta kekayaan yang melimpah tanpa perjuangan dan kerja. Kekayaan ibarat itu membuat manu¬sia kehilangan sifat-sifat baiknya dan melenyapkan kemampuannya untuk menguasai diri atas harta kekayaan yang dia miliki. Sehingga dia sangat garang untuk menghamburkan harta kekayaannya dalam hal-hal yang merusak dan mencelakakan, atau untuk bermain jodi lagi.
Dengan jalan jodi pula, insan sanggup kehilangan harta kekayaannya secara tiba-tiba. Pada gilirannya, akan tertanam di dalam hatinya rasa dendam dan murka kepada orang yang memperoleh laba dari dirinya. Dan seringkali hal ini menjadikan balas dendam dan pertengkaran berdarah.
Ketahuilah bahwa sesungguhnya perjodian sanggup menanamkan sifat permusuhan di dalam hati dan juga membuatnya culas. Meja perjodian yang dikelilingi oleh orang-orang yang duduk di sampingnya bisa mengubah mereka menjadi beringas dan buas untuk menerkam satu sama lain. Masing-masing individu di antara mereka ingin menerkam yang lain, memakan dagingnya dan menghisap darahnya. Alangkah indahnya ungkapan yang disampaikan oleh Al-Quran Al-Karim dalam dilema ini:“Sesungguhnya setan bermaksud hendak menjadikan permusuhan dan kebencian di antara kau karena (meminum) khomer dan perjodian…” (Al-Maidah/5: 91).
Ketiga: Lawakan dan Lelucon
Dosa ketiga yang meruntuhkan penjagaan yakni banyolan yang sengaja dilakukan untuk membuat insan tertawa. Sejauh mana kejatuhan orang yang melawak?
Rasulullah saw bersabda:“Sesungguhnya seseorang yang berbicara semoga ditertawakan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya akan jatuh lebih jauh daripada sebuah biji yang diiatuhkan oleh tanamannya.” (Al-Mahajjah Al-Baydba’ 5: 232)
Agar kita memahami betul dampak banyolan dan lelucon dalam meruntuhkan perisai malu dan kehormatan manusia, ada baiknya kita kemukakan di sini beberapa hadis:
Rasulullah saw. bersabda:“Banyak Ganda dan melucu akan menghilangkan air wajah (kewibawaan).”(Bibar AI-Anwar 76:58)
Imam Al-Hasan Al-’Askari (as) berkata:“Janganlah kau menghina karena hal itu akan menghilangkan kewibawaanmu, dan janganlah kau bercanda karena hal itu membuat orang-orang akan berani kepadamu.”(Tubaf Al-’Uqul: 486)
Dari Hamran bin A’yun pernah menghadap kepada Imam Muhammad Al-Baqir (as) dan berkata: “Berilah wasiat kepadaku.” Al-Baqir menjawab “Kuwasiatkan kepadamu untuk bertakwa kepada Allah. Jauhilah canda-tawa karena hal itu akan menghilangkan wibawa dan air muka seseorang. (Bihar Al-Anwar, 76:60)
Imam Ali bin Abi Thalib (as) berkata:“Janganlah sekali-kali kau mencandai saudaramu, karena dengan hal itu dia akan memusuhi kamu. Jika tidak menjadi musuh, dia akan menyakiti kamu. (Ghurar Al-Hikam: 726)
Beliau juga berkata:“Barangsiapa banyak bercanda, maka dia tidak pernah akan sepi dari orang yang menaruh dendam kepadanya atau meremehkannya.(Ghurar Al-Hikam: 726)
Di antara wasiat Imam Ali bin Abi Thalib (as) kepada putranya Al-Hasan (as) : “… Bercanda itu menjadikan permusuhan.”(Ghurar Al-Hikam: 726)
Keempat: Mengikuti Perkembangan Aib Orang Lain
Dosa keempat yang meruntuhkan penjagaan dan prisai insan yakni mengikuti perkembangan malu orang lain.
Patut disebutkan di sini bahwa menyebutkan malu orang lain yakni dosa yang berakibat sangat buruk bila dilakukan oleh pengumpat dan pencela yang jiwanya sakit. Adapun bila dilakukan oleh orang yang jiwanya higienis dan tidak pernah menyimpang dari aturan-aturan yang benar, bukan merupakan dosa, bahkan itu wajib dilakukan oleh orang muslim terhadap saudara muslimnya yang lain.
.Imam Ali bin Abi Thalib (as) mengatakan:“Barangsiapa yang melihatmu dan menjagamu tatkala kau tidak ada, maka dia yakni sahabatmu yang perlu kau jaga. Dan barangsiapa yang menutupi aibmu dan membukakan aibmu ketika kau tidak ada, maka dia yakni musuhmu yang perlu kau bersikap hati-hati kepadanya.”(Ghurar Al-Hikam: 679)
Dalam hadis yang lain, dia mengatakan:“Kawanmu yang paling buruk yakni orang yang memuji dirimu berlebih-lebihan dan yang menutup aibmu.”(Ghurar Al-Hikam: 679)
“Barangsiapa yang menjelaskan kepadamu aib-aibmu maka dialah orang yang perlu kau cintai, dan barangsiapa yang menutupi aibmu, maka dialah bekerjsama musuhmu.”(Ghurar Al-Hikam: 679)
Para Imam memberanikan para sahabat mereka untuk memperlihatkan aib-aib mereka semoga menjadi sunnah yang baik di kalangan kaum Mukmin.
Imam Ja’far Al-Shadiq (as) berkata:“Aku sangat senang kepada kawan-kawanku yang memperlihatkan kepadaku aib-aibku. (Safinah Al-Bihar, 2:295)
Sunnah yang baik ini sama sekali mustahil dijalankan kecuali dalam suasana keimanan yang dipenuhi rasa saling percaya antara semua individu, yang jauh dari rasa dendam dan permusuhan di antara mereka, serta dilandasi oleh ruh pendidikan yang meng¬antarkan insan menuju kepada kesempurnaan. Dengan demikian akan hilanglah aib-aib yang ditunjukkan itu dari diri kita dan sikap mulia itu akan semakin bertambah dalam jiwa kita.
Adapun yang dimaksud menyebutkan malu orang lain sebagai dosa yang menjatuhkan penjagaan yakni mengungkapan malu orang lain yang dasari oleh kebencian, permusuhan, dan dendam kesumat yang berupaya menjelekkan, menjatuhkan orang lain, dan membuatkan aibnya di tengah masyarakat.
Tidak diam-diam lagi, bahwa sikap ibarat itu yakni timbul karena hilangnya salah satu hijab saling menghormati antara satu individu dengan individu yang lain. Sehingga insan lupa dengan aibnya sendiri ketika dia sibuk membicarakan malu orang lain. Dan boleh jadi, sikap membukakan malu orang lain ibarat itu juga timbul akhir hilangnya perisai penghalang malu yang ada dalam masyarakat pada tingkat tertentu.
Allah swt berfirman:“.. dan janganlah kau mencela dirimu sendiri…. (Al-Hujurat/49:11).
Rasulullah saw. bersabda:“Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya, dan hatinya belum nrimo untuk beriman, janganlah kau mencela kaum Muslimin dan membukakan aurat mereka. Karena sesungguhnya orang yang membukakan aurat mereka, maka Allah akan membukakan aibnya. Dan barangsiapa yang dibuka auratnya oleh Allah swt maka dia akan sangat terhina meskipun dia berada di rumahnya sendiri.” (Ushul All-Kafi 4: 57)
Imam Ali bin Abi Thalib (as) berkata:“Barangsiapa yang mengikuti diam-diam malu orang lain, maka Allah akan mengharamkan baginya rasa cinta di dalam hatinya.”(Ghurar Al-Hikam: 683)
Imam Ali (as) juga berkata:“Berbahagialah orang-orang yang disibukkan oleh aibnya sendiri dan tidak sempat melihat malu orang lain.” (Safinah Al-Bihar 2: 295)
“Kebanyakan malu yang engkau limpahkan kepada orang lain yakni bekerjsama malu yang ada pada dirimu sendiri.” (Ghurar Al-Hikam: 194, 447)
“Orang yang paling buruk ialah orang yang mengikuti malu orang lain tetapi dia tidak mengetahui malu dirinya sendiri.” (Ghurar Al-Hikam: 194, 447)
Jika ada pengecap seseorang yang gampang membukakan malu orang lain dalam suatu masyarakat, maka dia akan menjadi sumber bagi runtuhnya kepribadian dalam masyarakat tersebut serta menjadikan keonaran di dalamnya. Biasanya, orang-orang ibarat itu akan ditakuti di dalam masyarakat karena orang-orang takut terhadap sengatan lidahnya. Dan pada gilirannya akan timbul relasi dan keterkaitan yang kurang masuk akal antara individu dalam masyarakat tersebut.
Rasulullah saw. bersabda:“Orang yang paling buruk pada hari simpulan zaman nanti yakni orang-orang yang dihormati karena insan takut akan sengatan lidahnya.” (Ushul Al-Kafi, 4:19)
Dalam wasiatnya kepada Imam Ali (as) Rasulullah saw bersabda:“Wahai Ali, maukah kau kuberitahukan ihwal orang yang paling jelek? Aku berkata: ‘Ya, wahai Rasulullah.”‘ Rasulullah kemudian meneruskan: “Orang yang tidak memaafkan kesalahan orang lain, tidak memaafkan kekeliruan orang lain. Maukah kau kuberitahu ihwal orang yang lebih buruk daripada itu?” Aku menjawab: “Ya, wahai Rasulullah.” Kemudian Rasulullah saw bersabda: “Orang yang tidak bisa dijamin keamanannya, dan tidak bisa diperlukan kebaikannya.” (Tuhaf Al-’Uqul: 13)
Imam Ja`far Al-Shadiq (as) berkata:“Barang¬siapa yang ditakuti lidahnya oleh orang lain, maka dia akan masuk neraka. (Ushul Al-Kafi, 19)
Kelima: Bergaul dengan Orang yang Diragukan
Dosa kelima yang meruntuhkan penjagaan insan yakni bergaul dengan orang yang diragukan.
Tidak diragukan lagi mengenai dampak pergaulan dengan orang-orang yang rusak kepribadiannya, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk masyarakatnya. Secara internal seseorang akan dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya, dan dia akan menggandakan idolanya. Seseorang akan menggandakan lingkungannya yang rusak yang telah menghilangkan hijab rasa malu dalam dirinya. Secara eksternal nilai seseorang yang bergaul dengan orang-orang yang diragukan akan mencemari insan yang lain, dan akan menjatuhkan martabat masyarakatnya. Akibatnya, runtuhlah prisai-prisai masyarakat dan putuslah ikatan-ikatan sosial yang bekerjsama sanggup memacu acara insan dan mencegah mereka dari kehancuran.
Rasulullah saw. bersabda:“Orang yang pertama kali berhak dituduh yakni orang yang bergaul dengan orang yang menuduh.”(Al-Mustadrak 2: 65)
Imam Ja`far Al-Shadiq (as) berkata:“Barangsiapa yang bergaul dengan orang yang diragukan, maka dia perlu diragukan.” (Bihar Al-Anwar 74: 197)
Beliau juga berkata:“Janganlah engkau dekat dengan orang-orang yang suka membuat bid`ah, janganlah dekat dengan mereka karena orang-orang akan menganggap kau satu kelompok dengan mereka.” (Ushul Al-Kafi 4: 83)
Imam Ali bin Abi Thalib (as) berkata:“Barangsiapa yang mendudukkan dirinya sebagai orang yang menuduh, maka janganlah dia mencela orang yang berprasangka buruk padanya.”(Bihar Al-Anwar 74: 186)