Sebentar lagi bulan ramadhan akan tiba dan kita akan menunaikan ibadah puasa wajib sebulan sekali dalam satu tahun. Tentunya kita sebagai umat islam atau seorang muslim yang taat yakni suatu kewajiban bagi kita menjalankan ibadah puasa ramadhan.
Puasa ramadhan hukumnya yakni wajib, artinya setiap muslim yang sudah baligh harus baginya berpuasa pada bulan ramadhan. terkecuali bagi mereka yang sedang sakit, sedang dalam perjalanan, maupun perempuan yang sedang dalam keaadaan haid. Bagi mereka itu, puasa tidak diharuskan dan terkhusus perempuan yang sedang haid yakni tidak boleh berpuasa.
![]() |
Niat Sahur Dan Buka Puasa Ramadhan Yang Baik dan Benar |
Untuk menjalankan ibadah puasa, bukan asal-asalan menahan haus dan lapar saja, ada syarat dan rukun puasa yang harus kau taati, semoga puasa yang kau lakukan tidak sia-sia sehingga kau mendapat pahala.
Berikut ini yakni Syarat-syarat Puasa:
syarat puasa terdiri dari dua syarat, yakni syarat wajib dan syarat sah. apa saja kah sarat wajib dan syarat sah puasa tersebut, yakni sebagai berikut:
a. Syarat Wajib Puasa
Syarat wajib penunaian puasa, artinya ketika ia mendapati waktu tertentu, maka ia dikenakan kewajiban puasa. Syarat yang dimaksud yakni sebagai berikut.
(1) Sehat, tidak dalam keadaan sakit.
(2) Menetap, tidak dalam keadaan bersafar. Dalil kedua syarat ini yakni firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barangsiapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 185). Kedua syarat ini termasuk dalam syarat wajib penunaian puasa dan bukan syarat sahnya puasa dan bukan syarat wajibnya qodho’ puasa. Karena syarat wajib penunaian puasa di sini gugur pada orang yang sakit dan orang yang bersafar. Ketika mereka tidak berpuasa dikala itu, barulah mereka qodho’ menurut janji para ulama. Namun jikalau mereka tetap berpuasa dalam keadaan demikian, puasa mereka tetap sah.
(3) Suci dari haidh dan nifas. Dalilnya yakni hadits dari Mu’adzah, ia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Hadits tersebut adalah,
عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
Dari Mu’adzah dia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata, ‘Kenapa gerangan perempuan yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kau dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi saya hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’.”[5] Berdasarkan janji para ulama pula, perempuan yang dalam keadaan haidh dan nifas tidak wajib puasa dan wajib mengqodho’ puasanya
b. Syarat sahnya puasa ada dua, yaitu:[7]
(1) Dalam keadaan suci dari haidh dan nifas. Syarat ini yakni syarat terkena kewajiban puasa dan sekaligus syarat sahnya puasa.
(2) Berniat. Niat merupakan syarat sah puasa sebab puasa yakni ibadah sedangkan ibadah tidaklah sah kecuali dengan niat sebagaimana ibadah yang lain. Dalil dari hal ini yakni sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya.”[8]
Niat puasa ini harus dilakukan untuk membedakan dengan menahan lapar lainnya. Menahan lapar sanggup jadi hanya sekedar kebiasaan, dalam rangka diet, atau sebab sakit sehingga harus dibedakan dengan puasa yang merupakan ibadah.
Namun, para pembaca sekalian perlu ketahui bekerjsama niat tersebut bukanlah diucapkan (dilafadzkan). Karena yang dimaksud niat yakni kehendak untuk melaksanakan sesuatu dan niat letaknya di hati[9]. Semoga Allah merahmati An Nawawi rahimahullah –ulama besar dalam Syafi’iyah- yang mengatakan,
لَا يَصِحُّ الصَّوْمَ إِلَّا بِالنِّيَّةِ وَمَحَلُّهَا القَلْبُ وَلَا يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِلاَ خِلَافٍ
“Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat yakni dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan. Masalah ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.”[10]
Ulama Syafi’iyah lainnya, Asy Syarbini rahimahullah mengatakan,
وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ ، وَلَا تَكْفِي بِاللِّسَانِ قَطْعًا ، وَلَا يُشْتَرَطُ التَّلَفُّظُ بِهَا قَطْعًا كَمَا قَالَهُ فِي الرَّوْضَةِ
“Niat letaknya dalam hati dan tidak perlu sama sekali dilafazhkan. Niat sama sekali tidakk disyaratkan untuk dilafazhkan sebagaimana ditegaskan oleh An Nawawi dalam Ar Roudhoh.”[11]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
وَالنِّيَّةُ مَحَلُّهَا الْقَلْبُ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ ؛ فَإِنْ نَوَى بِقَلْبِهِ وَلَمْ يَتَكَلَّمْ بِلِسَانِهِ أَجْزَأَتْهُ النِّيَّةُ بِاتِّفَاقِهِمْ
“Niat itu letaknya di hati menurut janji ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia lafazhkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah menurut janji para ulama.”[12]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan pula, “Siapa saja yang menginginkan melaksanakan sesuatu, maka secara niscaya ia telah berniat. Semisal di hadapannya disodorkan makanan, kemudian ia punya harapan untuk menyantapnya, maka ketika itu niscaya ia telah berniat. Demikian ketika ia ingin berkendaraan atau melaksanakan perbuatan lainnya. Bahkan jikalau seseorang dibebani suatu amalan lantas dikatakan tidak berniat, maka sungguh ini yakni pembebanan yang tidak mungkin dilakukan. Karena setiap orang yang hendak melaksanakan suatu amalan yang disyariatkan atau tidak disyariatkan niscaya ilmunya telah mendahuluinya dalam hatinya, inilah yang namanya niat.”[13]
Rukun Puasa
Berdasarkan janji para ulama, rukun puasa yakni menahan diri dari aneka macam pembatal puasa mulai dari terbit fajar (yaitu fajar shodiq) hingga terbenamnya matahari[23]. Hal ini menurut firman Allah Ta’ala,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu hingga (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187). Yang dimaksud dari ayat adalah, terangnya siang dan gelapnya malam dan bukan yang dimaksud benang secara hakiki.
Dari ‘Adi bin Hatim ketika turun surat Al Baqarah ayat 187, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya,
إِنَّمَا ذَاكَ بَيَاضُ النَّهَارِ مِنْ سَوَادِ اللَّيْلِ
“Yang dimaksud yakni terangnya siang dari gelapnya malam”[24]. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan ibarat itu pada ‘Adi bin Hatim sebab sebelumnya ia mengambil dua benang hitam dan putih. Lalu ia menanti kapan muncul benang putih dari benang hitam, namun ternyata tidak kunjung nampak. Lantas ia menceritakan hal tersebut pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian dia pun menertawai kelakukan ‘Adi bin Hatim.[25].
Selain itu dalam berpuasa ada yang namanya sahur dan berbuka puasa, sahur yakni makan sebelum fajar dan berbuka yakni makan sehabis adzan magrib berkumandang. Mungkin kau telah mengetahui soal ini. Nah kemudian bagaimana bacaan niat puasa? bagaimana do`a berbuka puasa?
Niat Sahur Puasa Ramadhan:
Nawaitu shouma ghodin ‘an adaa-i fardhi syahri romadhoona haadzihis sanati lillaahi ta‘aala.
Artinya :
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Aku berniat puasa esok hari menunaikan kewajiban Ramadhan tahun ini sebab Allah Ta’ala
Do'a Buka Puasa:
![]() |
Doa Buka Puasa |
Allahumma laka shumtu wa bika amantu wa'ala rizqika afthartu. Birrahmatika yaa arhamar roohimin.
Artinya:
"Ya Allah, untukMu saya berpuasa, dan kepadaMu saya beriman, dan dengan rezekiMu saya berbuka. Dengan rahmatMu wahai yang Maha Pengasih dan Penyayang."
Nah teman-teman itulah tadi niat sahur dan bacaan doa puasa, selamat berpuasa. Semoga di bulan ramadhan kali ini kita akan mendapat banyak keberkahan
Sumber http://www.bastechinfo.com