Teori - Teori Perkembangan Kepribadian
1. Teori Tabula Rasa
Pada tahun 1690, John Locke mengemukakan Teori Tabula Rasa dalam bukunya yang berjudul "An Essay Concerning Human Understanding". Menurut teori ini, insan yang gres lahir menyerupai kerikil tulis yang higienis dan akan menjadi menyerupai apa kepribadian seseorang ditentukan oleh pengalaman yang didapatkannya.
Teori ini mengandaikan bahwa semua individu pada waktu lahir mempunyai potensi kepribadian yang sama. Kepribadian seseorang setelah itu semata - mata hasil pengalaman - pengalaman setelah lahir. Perbedaan pengalaman yang dialami seseorang itulah yang mengakibatkan adanya bermacam - macam kepribadian dan adanya perbedaan kepribadian antara individu yang satu dengan individu yang lain.
Teori tersebut tidak sanggup diterima seluruhnya. Kita mengetahui bahwa setiap orang mempunyai kecenderungan khas sebagai warisan yang dibawanya semenjak lahir yang akan memengaruhi kepribadiannya pada waktu dewasa. Akan tetapi juga harus diingat bahwa warisan genetik hanya memilih potensi kepribadian setiap orang. Tumbuh dan berkembangnya potensi itu tidak menyerupai garis lurus, namun ada kemungkinan akan terjadi penyimpangan. Kepribadian seseorang tidak selalu berkembang sesuai dengan potensi yang diwarisinya.
Warisan genetik itu memang memengaruhi kepribadian, tetapi tidak mutlak memilih sifat kepribadian seseorang. Pengalaman hidup, khususnya pengalaman - pengalaman yang diperoleh pada usia dini, sangat memilih kepribadian individu.
2. Teori Cermin Diri
Teori Cermin Diri (The Looking Glass Self) ini dikemukakan oleh Charles H. Cooley. Teori ini merupakan citra bahwa seseorang hanya sanggup berkembang dengan sumbangan orang lain. Setiap orang menggambarkan diri mereka sendiri dengan cara bagaimana orang - orang lain memandang mereka, contohnya ada orang bau tanah dan keluarga yang menyampaikan bahwa anak gadisnya cantik. Jika hal itu sering diulang secara konsisten oleh orang - orang yang berbeda - beda, jadinya gadis tersebut akan merasa dan bertindak menyerupai seorang yang cantik. Teori ini didasarkan pada analogi dengan cara bercermin dan mengumpamakan gambar yang tampak pada cermin tersebut sebagai citra diri kita yang terlihat orang lain.
Gambaran diri seseorang tidak selalu berkaitan dengan fakta - fakta objektif, contohnya seorang gadis yang bekerjsama cantik, tetapi tidak pernah merasa yakin bahwa ia bagus alasannya mulai dari awal hidupnya selalu diperlakukan orang tuanya sebagai anak yang tidak menarik. Jadi, melalui tanggap orang lain, seseorang memilih apakah ia bagus atau jelek, andal atau bodoh, bahagia memberi atau pelit, dan sebagainya.
Ada tiga langkah dalam proses pembentukan cermin diri, yaitu sebagai berikut.
A. Imajinasi ihwal pandangan orang lain terhadap diri seseorang, menyerupai bagaimana pakaian atau tingkah lakunya di mata orang lain.
B. Imajinasi terhadap evaluasi orang lain ihwal apa yang terdapat pada diri masing - masing orang, contohnya pakaian yang dipakai
C. Perasaan seseorang ihwal evaluasi - evaluasi itu, menyerupai bangga, kecewa, gembira atau rendah diri.3. Teori Diri Antisosial
Teori ini dikemukakan oleh Sigmund Freud. Dia beropini bahwa diri insan mempunyai tiga bagian, yaitu Id, ego dan superego.
A. Id yakni sentra nafsu serta dorongan yang bersifat naluriah, tidak sosial, rakus, dan antisosial.
B. Ego yakni bab yang bersifat sadar dan rasional yang mengatur pengendalian superego terhadap Id. Ego secara bernafsu sanggup disebut sebagai logika pikiran.
C. Superego yakni kompleks dari cita - cita dan nilai - nilai sosial yang dihayati seseorang serta membentuk hati nurani atau disebut sebagai kesadaran sosial.
Teori ini menyatakan bahwa masyarakat atau lingkungan sosial selamanya akan mengalami konflik menghalangi seseorang untuk mencapai kesenangannya. Masyarakat selalu menghambat pengungkapan agresi, nafsu seksual, dan dorongan - dorongan lainnya atau dengan kata lain, id selalu berperang dengan superego. Id biasanya ditekan tetapi sewaktu - waktu ia akan lepas menantang superego, sehingga mengakibatkan beban rasa bersalah yang sulit dipikul oleh diri. Kecemasan yang mencekam diri seseorang itu sanggup diukur dengan bertitik tolah pada jauhnya superego berkuasa terhadap id dan ego. Dengan cara demikian, Freud menekankan aspek - aspek tekanan jiwa dan putus asa sebagai tanggapan hidup berkelompok.
4. Teori Ralph dan Conton
Teori ini menyampaikan bahwa setiap kebudayaan menekankan serangkaian efek umum terhadap individu yang tumbuh di bawah kebudayaan itu. Pengaruh - efek ini berbeda antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain, tetapi semuanya merupakan bab dari pengalaman bagi setiap orang yang termasuk dalam masyarakat tertentu.
Setiap masyarakat akan menunjukkan pengalaman tertentu yang tidak diberikan oleh masyarakat lain kepada anggotanya. Dari pengalaman sosial itu timbul pembentukan kepribadian yang khas dari masyarakat tersebut. Selanjutnya dari pembentukan kepribadian yang khas ini kita mengenal ciri umum masyarakat tertentu sebagai wujud kepribadian masyarakat tersebut.
5. Teori Subkultural Soerjono Soekanto
Teori ini mencoba melihat kaitan antara kebudayaan dan kepribadian dalam ruang lingkup yang lebih sempit, yaitu kebudayaan khusus (subcultural). Dia menyebutkan ada beberapa tipe kebudayaan khusus yang memengaruhi kepribadian sebagai berikut.
A. Kebudayaan Khusus Atas Dasar Faktor Kedaerahan
Di sini dijumpai kepribadian yang berbeda dari individu - individu yang merupakan anggota suatu masyarakat tertentu alasannya masing - masing tinggal di tempat - tempat yang berlainan dengan kebudayaan khusus yang berbeda pula.
B. Cara Hidup di Kota dan di Desa yang Berbeda
Ciri khas yang sanggup dilihat pada anggota masyarakat yang hidup di kota besar yakni perilaku individualistik, sedangkan orang desa lebih menampakkan diri sebagai masyarakat yang mempunyai perilaku bantu-membantu yang sangat tinggi.
C. Kebudayaan Khusus Kelas Sosial
Dalam kenyataan di masyarakat, setiap kelas sosial membuatkan kebudayaan yang saling berbeda, yang pada jadinya menghasilkan kepribadian yang berbeda pula pada masing - masing anggotanya, contohnya kebiasaan orang - orang yang berasal dari kelas atas dalam mengisi waktu liburannya ke luar negeri. Kebiasaan tersebut akan menghasilkan kepribadian yang berbeda dengan kelas sosial lainnya di masyarakat.