Wednesday, February 7, 2018

√ Sejarah Aksi Militer Belanda Ii


Masa paling keras kedua sesudah perang Surabaya pada 10 November 1945 yaitu pertempuran para p0juang Republik Indonesia dalam menghadapi Agresi Militer Belanda ke II pada tanggal 19 Desember 1948, dimana ratusan kapal terbang Belanda berputar-putar di atas kota Jogjakarta dengan menjatuhkan pasukan para dan bom.

Saat penerjunan itu dimulai pada jam 06.45. Pesawat-pesawat Dakota C-47 menjatuhkan pasukan para dari ketinggian yang sangat rendah, 120 m, sehingga para parajurit para eksklusif menarik tali parasut segera sesudah meloncat. Pasukan para diterjukan di Pangkalan Udara Maguwo dan dari sana menuju ke Ibukota RI di Yogyakarta.

Jendral Spoor seorang Panglima Militer Belanda berkeyakinan bahwa serangan udara dengan serangan cepat akan sanggup melumpuhkan Kota Jogjakarta, yang berarti akan menghapus keberadaan Republik Indonesia. Suatu operasi yang diberi sandi “Operatie Kraai” yang dalam bahasa Indonesia artinya Operasi Burung Gagak ini memang sudan direncanakan semenjak Januari 1948.

Usaha Belanda untuk merebut kembali dengan misi mengambil alih bumi Hindia Timur ( Sulawesi Utara, Maluku dan Irian Barat. Aksi menyerupai ini pada tahun 1947 juga telah dilakukan yang sering disebut dengan Agresi Militer Belanda I yang berhasil menguasai sebagian besar Jawa Barat dan Jawa Timur serta sebagian Jawa Tengah.

Serangan ke Yogjakarta sebagai Ibu Kota Negara merupakan serangan awal dari operasi ini sebelum wilayah lainnya. Para p0juang kita terdesak alasannya yaitu b0mar pesawat-pesawat Belanda menghujani kota Yogjakarta. Terpaksa para p0juang masuk ke pinggiran-pinggiran kota dan hasilnya keluar dari Kota Jogjakarta.

Pada hasilnya Yogjakarta dikuasai oleh aggressor Belanda dan melaksanakan penangkapan terhadap Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Posisi para pemimpin Negara berada di Ibu Kota Negara, alasannya yaitu ketika itu menurut keputusan Sidang Kabinet yang diadakan dengan kilat semoga tetap sanggup mengakomodasi Komisi Tiga Negara (KTN) dan kontak-kontak diplomatik sanggup diadakan.

Walaupun keadaan RI sangat genting perlawanan oleh para p0juang tidak juga pupus, Jendral Sudirman yang memimpin pasukan tetap melaksanakan perlawanan dengan perang gerilya dari wilayah-wilayah di luar Yogjakarta.


Kondisi dia waktu itu sedang sakit parah, tetap tekadnya tetap keras untuk tidak pernah mengalah pada penjajah. Perjuangan dihentikan putus. Perjuangan gerilya dari hutan ke hutan memaksa dia di tandu kian kemari oleh para anak buahnya yang setia.

Wilayah yang paling sering dijadikan sentra kekuatan di luar Jogjakarta yaitu di Goa Selarong di Desa Selarong, Bantul Jogjakarta. Daerah ini aneka macam terdapat goa-goa yang terletak tidak jauh dari pantai selatan. Letaknya memang terpencil sulit diakses oleh pasukan Belanda.

Para p0juang memikirkan status RI dalam situasi yang genting tersebut yang menjadikan Republik Indonesia yang masih muda ini harus mempertahankan status quo dan dan de facto dengan memindahkan Ibu Kota Negara ke Sumatera.

Para p0juang hasilnya berhasil membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara di Sumatera Barat. Pemindahan ini penting sebagai bukti kepemilikan wilayah dan ibu kota Negara (salah satu syarat de facto) sebagai bab dari kekuatan bargaining pada ketika perjuangan diplomasi akreditasi kemerdekaan dari bangsa-bangsa di dunia.

Sumber http://moonlightrocks.blogspot.com