Wednesday, February 28, 2018

√ Aliran Konterfaktual : Efek Dari Memikirkan Apa Yang Akan Terjadi Seandainya....

Misalnya Anda melaksanakan ujian penting √ Pemikiran Konterfaktual : Efek Dari Memikirkan Apa Yang Akan Terjadi Seandainya....

Pemikiran Konterfaktual : Efek Dari Memikirkan "Apa Yang Akan Terjadi Seandainya...."

   Misalnya Anda melaksanakan ujian penting; ketika Anda mendapatkan hasilnya, nilainya yakni C —jauh lebih rendah dari yang Anda harapkan. Apa yang ada di benak Anda mengenai nilai Anda itu? Jika Anda menyerupai kebanyakan orang, Anda mungkin dengan cepat mulai membayangkan "apa yang akan terjadi seandainya..." yaitu menerima nilai yang lebih tinggi —selain fatwa ihwal apa yang seharusnya perlu dilakukan semoga sanggup memperoleh hasil yang lebih baik. "Seandainya saya berguru lebih giat, atau tiba ke kelas lebih sering", Anda mungkin berpikir menyerupai ini. Kemudian, Anda mungkin mulai menciptakan perencanaan untuk bisa lebih baik pada ujian berikutnya.

   Pemikiran ihwal apa yang akan terjadi seandainya —dikenal dalam psikologi sosial sebagai pemikiran konterfaktual (counterfactual thinking) —muncul dalam aneka macam situasi, tidak hanya pada situasi yang mengecewakan. Berpikir dengan meninjau kembali bisa melibatkan bayangan mengenai kemungkinan yang lebih baik (upward counterfactuals) atau mengenai kemungkinan yang lebih buruk (downward counterfactuals) dari yang kita alami.

   Ketika memikirkan kemungkinan yang lebih baik daripada yang bergotong-royong terjadi, hal ini berdekatan dengan penyesalan. Penyesalan semacam itu sepertinya lebih kuat intensitasnya ketika melibatkan hal - hal yang tidak kita lakukan tapi berharap kita telah melakukannya, dibandingkan dengan hal - hal yang bergotong-royong telah kita lakukan tapi akhirnya tidak sesuai dengan keinginan kita (Gilovich && Medvec, 1994). 


   Mengapa terjadi menyerupai ini? Di antaranya alasannya yakni ketika berpikir ihwal hal - hal yang telah kita lakukan namun akhirnya buruk, kita tahu apa yang telah terjadi dan  menemukan rasionalisasi atau alasan bagi hasil buruk tersebut. Namun ketika kita berpikir bahwa kita telah kehilangan kesempatan, situasinya menjadi sangat berbeda. Dengan berjalannya waktu, perlahan - lahan kita tidak lagi mengecilkan arti faktor - faktor penghambat kinerja pada waktu itu —faktor - faktor ini menjadi semakin kurang penting. Lebih buruk lagi, kita cenderung untuk membayangkan laba yang menyenangkan yang akan kita peroleh, seandainya kita melaksanakan hal - hal yang seharusnya kita lakukan. Akibatnya : Semakin usang kita menyesal maka penyesalan tersebut kita semakin kuat dari waktu ke waktu dan sanggup menghantui kita seumur hidup (Medvec, Madey, & Gilovich, 1995).

   Yang menarik, temuan terkini mengindikasikan bahwa orang - orang yang memulai bisnis mereka sendiri -wiraswastawan- mempunyai kemungkinan yang lebih kecil untuk terlibat dalam fatwa konterfaktual dan lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami penyesalan terhadap kehilangan kesempatan dibanding orang - orang lain (Baron, 2000). Ternyata, mereka percaya bahwa hilangnya kesempatan tidak besar lengan berkuasa : akan selalu ada kesempatan gres di daerah lain. Sejalan dengan ini, mereka tidak menghabiskan terlalu banyak waktu memikirkan apa yang akan terjadi seandainya mereka telah melaksanakan hal tertentu: mereka terlalu sibuk memikirkan apa yang akan datang!

   Namun ini bukan satu - satunya imbas dari konterfaktual. Seperti yang dilihat oleh Neal Roese (1977), psikolog sosial yang telah melaksanakan aneka macam penelitian sanggup berakibat pada banyak hal, di antaranya menguntungkan dan lainnya merugikan. Contohnya, tergantung pada fokus, fatwa konterfaktual sanggup berakibat pada peningkatan atau penurunan suasana hati dikala ini. Jika individu membayangkan kemungkinan yang lebih baik, membandingkan hasil dikala ini dengan kemungkinan yang lebih baik, akhirnya akan berupa perasaan tidak puas atau iri yang kuat, khususnya kalau mereka merasa tidak bisa mencapai hasil yang lebih baik pada waktu yang akan tiba (Sanna, 1977). Para atlet olimpiade yang memenangkan medali perak namun membayangkan memenangkan medali emas mengalami reaksi menyerupai itu (Medvec, Madey & Gilovich, 1995). 

   Selain itu, apabila individu membandingkan hasil mereka dikala ini dengan kemungkinan yang lebih buruk, atau bila mereka mempertimbangkan aneka macam cara semoga sanggup menghindari hasil yang mengecewakan dan memperoleh hasil yang positif, mereka sanggup mengalami perasaan puas atau penuh harapan. Reaksi semacam itu ditemukan pada atlet - atlet olimpiade yang memenangkan medali perunggu yang kemudian membayangkan bagaimana rasanya bila ia tidak memenangkan medali sama sekali (misalnya dalam Gleicher, dll, 1995). Kesimpulannya, fatwa konterfaktual sanggup secara kuat besar lengan berkuasa terhadap kondisi afek kita (Medvec & Savitsky, 1997).

   Sebagai tambahan, ternyata kita sering berpikir untuk mengurangi kepahitan dari kekecewaan. Setelah kejadian tragis menyerupai simpulan hidup orang yang kita cintai, orang sering kali menemukan ketenangan dalam berpikir, "Tidak ada yang bisa dilakukan lagi, simpulan hidup tersebut memang tidak sanggup dihindari". Dengan perkataan lain, mereka menyesuaikan pandangan mereka mengenai simpulan hidup yang tidak sanggup dihindari untuk membuatnya tampak lebih niscaya dan tidak lagi sanggup dihindari. Sebaliknya, kalau mereka mempunyai fatwa yang berbeda dengan kenyataan yang terjadi menyerupai "Jika saja penyakitnya didiagnosis lebih awal..." atau "Jika saja kita lebih cepat membawanya ke rumah sakit..." penderitaan mereka mungkin justru meningkat. Makara dengan berasumsi bahwa kejadian negatif atau kekecewaan tiba tanpa bisa dihindari, kita cenderung untuk menciptakan kejadian ini lebih bisa diterima (Tykocinsky, 2001). 

   Masih merupakan efek dari fatwa konterfaktual —atau dalam hal ini, dengan mengantisipasi bahwa kita akan terlibat di dalam suatu tindakan —dikenal sebagai inaction inertia (kelambanan apatis). Hal ini muncul ketika individu memutuskan untuk tidak melaksanakan sesuatu sehingga kehilangan kesempatan untuk mendapatkan hasil yang positif. Akibatnya, ia cenderung untuk tidak lagi mengulang sikap - sikap yang seupa di waktu yang akan datang, khususnya kalau sikap ini menawarkan hasil yang kurang diinginkan.

   Contohnya, bayangkan kalau Anda bermaksud membeli sebuah radio yang didiskon 50%, namun Anda tidak tiba ke toko pada waktunya sehingga ketika Anda datang, kortingnya sudah menjadi 25%. Apakah anda akan membelinya? Hasil penelitian memperlihatkan bahwa Anda cenderung untuk tidak membelinya dibandingkan dengan bila anda tidak ketingalan korting awal (misalnya dalam Tykocinski, Pittman, & Tuttle, 1995).

   Mengapa? Ternyata alasannya yakni kita menyadari bahwa kalau kita membeli radio sekarang, kita mengingatkan diri sendiri bahwa bergotong-royong kita bisa membelinya dengan harga lebih murah; kita ingin menghindari itu, alasannya yakni dengan fatwa konter faktual, kita akan merasa tidak nyaman dan menyesal. Hasil penelitian Tykocinski dan Pittman (1998) mendukung klarifikasi ini : Individu dalam penelitian ini cenderung memperlihatkan kelambanan apatis paling tinggi ketika ia terlindung dari fatwa ihwal kesempatan yang telah hilang tersebut. Ketika mereka tidak lagi sanggup menghindari fatwa mengenai kesempatan yang hilangn ini (misalnya setiap hari mereka harus berjalan melewati apartemen yang sangat diinginkan yang gagal mereka sewa), kelambanan apatis berkurang.

   Kesimpulannya, membayangkan apa yang sanggup terjadi kalau suatu situasi diulang kembali mempunyai banyak pengaruh, mulai dari kekecewaan dan penyesalah yang mendalam di satu sisi, sampai penuh cita-cita dan peningkatan kemauan untuk menjadi lebih baik di sisi lain. Kecenderungan kita untuk berpikir tidak hanya mengenai apa yang terjadi tetapi juga mengenai apa yang mungkin terjadi seandainya dilakukan atau terjadi sesuatu, berdampak luas pada aneka macam aspek kognisi dan sikap sosial

Sumber : Baron, Robert A.,Donn Bryne. 2004. Psikologi Sosial Jilid 1. Bandung : Penerbit Erlangga.

  Islam Melarang "upward counterfactuals" (Dalam Rangka Menentang / Menyesali Takdir!)

   “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun, keduanya tetap mempunyai kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya saya lakukan demikian dan demikian.’ Akan tetapi hendaklah kamu katakan: ‘Ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki niscaya terjadi.’ Karena perkataan law (seandainya) sanggup membuka pintu syaithon.” (HR. Muslim)

   Seperti yang telah diuraikan di atas, apabila kita terkena petaka / sesuatu yang mengecewakan biasanya kita melaksanakan konterfaktual. Biasanya kita melaksanakan konterfaktual dengan memikirkan "Seandainya saya melaksanakan begini niscaya akhirnya tidak akan menyerupai ini" sehingga cenderung tidak bersyukur dan 'tersiksa' alasannya yakni penyesalan tersebut.

   Sehingga, menyerupai referensi di atas juga, dengan memikirkan bahwa petaka tersebut sudah tidak bisa dihindari lagi (sehingga kita memikirkan bahwa ini yakni takdir Allah) sanggup mengurangi kekecewaan + menambah pahala (contoh lihat paragraf 8).

Apakah Semua Perkataan Seandainya Terlarang?

   Kata ‘law (seandainya atau andaikata)’ biasa dipakai dalam beberapa keadaan dengan aturan yang berbeda-beda. Berikut rinciannya sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin dalam Qoulul Mufid (2/220-221), juga oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di dalam Bahjatul Qulub (hal. 28) dan ada beberapa referensi dari kami.

   Pertama: Apabila ucapan ‘seandainya’ dipakai untuk memprotes syari’at, dalam hal ini hukumnya haram. Contohnya yakni perkataan: “Seandainya judi itu halal, tentu kami sudah untung besar setiap harinya.”

   Kedua: Apabila ucapan ‘seandainya’ dipakai untuk menentang takdir, maka hal ini juga hukumnya haram. Semacam perkataan: “Seandainya saya tidak demam, tentu saya tidak akan kehilangan kesempatan yang bagus ini.”

   Ketiga: Apabila ucapan ‘seandainya’ dipakai untuk penyesalan, ini juga hukumnya haram. Semacam perkataan: “Seandainya saya tidak ketiduran, tentu saya tidak akan ketinggalan pesawat tersebut.”

   Keempat: Apabila ucapan ‘seandainya’ dipakai untuk menimbulkan takdir sebagai dalih untuk berbuat maksiat, maka hukumnya haram. Seperti perkataan orang-orang musyrik:
                                                                   وَقَالُوا لَوْ شَاءَ الرَّحْمَنُ مَا عَبَدْنَاهُمْ
“Dan mereka berkata: “Jikalau Allah Yang Maha Pemurah menghendaki tentulah kami tidak menyembah mereka (malaikat)”.” (QS. Az Zukhruf: 20)

   Kelima: Apabila ucapan ‘seandainya’ dipakai untuk berangan-angan, ini dihukumi sesuai dengan yang diangan-angankan alasannya yakni terdapat kaedah bahwa aturan sarana sama dengan aturan tujuan.

   Jadi, apabila yang diangan-angankan yakni sesuatu yang buruk dan maksiat, maka kata andaikata dalam hal ini menjadi tercela dan pelakunya terkena dosa, walaupun ia tidak melaksanakan maksiat. Misalnya: “Seandainya saya kaya menyerupai si fulan, tentu setiap hari saya bisa berzina dengan gadis-gadis manis dan elok.”

   Namun, apabila yang dianggan-angankan yakni hal yang baik-baik atau dalam hal mendapatkan ilmu nafi’ (yang bermanfaat). Misalnya: “Seandainya saya punya banyak kitab, tentu saya akan lebih paham persoalan agama”. Atau kalimat lain: “Seandainya saya punya banyak harta menyerupai si fulan, tentu saya akan memanfaatkan harta tersebut untuk banyak berderma.”

   Keenam: Apabila ucapan ‘seandainya’ dipakai hanya sekedar pemberitaan, maka ini hukumnya boleh. Contoh: “Seandainya engkau kemarin menghadiri pengajian, tentu engkau akan banyak paham mengenai jual beli yang terlarang.”
   (Baca Selengkapnya mengenai "Jangan Berkata Seandainya" berdasarkan pandangan Islam di http://rumaysho.com/aqidah/jangan-berkata-seandainya-693.html



    

Sumber http://falah-kharisma.blogspot.com