Monday, January 22, 2018

√ Penggunaan Media Umum Yang Luas Dalam Pemilu Demokrasi Di Indonesia


PENGGUNAAN MEDIA SOSIAL YANG LUAS DALAM PEMILU DEMOKRASI DI INDONESIA
Oleh: M. Ali Shofan
Mahasiswa Program Studi Pendidikan  Guru Madrasah Ibtidaiyah
Siman - Sekaran – Lamongan

Sudah semenjak dua pemilihan umum nasional terakhir (2009 dan 2014) media umum menjadi suatu ranah gres yang perlu diperhitungkan. Silakan dicermati, dalam dua pemilu terakhir itu kita melihat penggalangan massa kampanye dalam bentuk pawai, pertemuan besar di lapangan terbuka, dan sebagainya, menerima tentangan berat dengan adanya media sosial, yang telah menghasilkan lapangan gres untuk berkompetisi, saling cari simpati, serta mencerca para pesaing. Media sosial dipandang mempunyai perang penting yang sanggup memberi dampak terhadap pelaksanaan dan hasil pemilihan umum (pemilu) 2014. Oleh alasannya yaitu itu, siapapun yang berkepentingan terhadap pemilu 2014, seyogianya tidak melupakan media sosial.
Demikian pandangan peneliti Lembaga Survei Nasional (LSN) Dipa Pradipta di Jakarta, Minggu (9/2/2014). Media sosial mempunyai tugas penting, kata dia, mengingat sebagian besar penggunanya yaitu remaja. Mereka yaitu para pemilih pemula yang terus tumbuh. Perilaku para pemilih pemula ini yaitu selalu mencari isu melalui media sosial. "Pemilih pemula berusia 17 hingga 30 tahun porsinya tidak mengecewakan banyak. Mencapai sekitar 27 juta bunyi yang diperebutkan," kata Dipa. Dia mengatakan, media umum menjadi wadah yang sangat gampang untuk menunjukkan balasan kasatmata maupun negatif terhadap para akseptor pemilu.  "Di media umum orang bebas mengeluarkan pendapat apapun, kritikan, pendapat dan pujian. Media sosial juga sebagai media yang gampang diakses. Info yang didapatkan juga banyak," tuturnya.
Tapi faktanya menyerupai yang kita ketahui pada dikala ini, Kita sama-sama tahu bahwa fenomena hoaks telah mencemari atau menebar racun dalam demokrasi yang kita jalani dikala ini. Filsuf Jerman, Jurgen Habermas, percaya bahwa masyarakat perlu menerapkan apa yang ia sebut sebagai demokrasi deliberatif, yaitu kesempatan kepada banyak pihak untuk memberikan pendapat mereka, yang paling berbeda sekalipun, dan kemudian membiarkan masyarakat mengambil keputusan atas isu yang bermacam-macam tersebut.

Hoaks di sini bukanlah merupakan bab dari demokrasi alasannya yaitu kalau diteropong lewat pendekatan kebebasan memperoleh isu (freedom of information), masyarakat perlu mempunyai isu yang lengkap dan terbuka untuk mengambil keputusan dalam pelbagai aspek kehidupannya. Apa yang akan terjadi kalau isu yang ingin dijadikan pegangan ialah isu yang tak akurat, sengaja dipelintir ataupun difabrikasi? Hoaks ini racun bagi suatu kebebasan memperoleh informasi, sementara kita sering mendengar bahwa kebebasan memperoleh isu yaitu oksigen bagi demokrasi.
Media sosial di Indonesia yang terkait dengan politik berkembang atas tiga motif dasar berdasarkan saya. Pertama ialah sebagai bab dari ekspansi dampak politik dari kandidat tertentu kepada para konstituennya ataupun kepada mereka yang belum punya pilihan.
Kedua, sebagai bab dari seni administrasi kampanye sekaligus seni administrasi menyerang yang ditujukan pada pihak lawan. Ketiga, sebagai bab dari aktivitas ekonomi yang sanggup bertumpang tindih dengan motif lainnya.




Sumber http://dikaayurahma.blogspot.com