Arti Pendidikan dan Pengajaran
Untuk memenuhi kiprah mata kuliah Psikologi Perkembangan
Dosen Pembimbing :
Dwi Rosyidatul Kholidah, M. Pd. I
Disusun Oleh :
1. A
2. B
3. C
Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI)
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH AL-FATTAH
LAMONGAN
MARET 2016
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah yang telah memperlihatkan kami limpahan rahmat sehingga kami bisa menuntaskan makalah ihwal “Arti Pendidikan dan Pengajaran” ini untuk memenuhi kiprah mata kuliah Psikologi Perkembangan dengan baik.
Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun kita dari jalan yang gelap gulita menuju jalan yang terang benderang yakni agama islam.
Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Drs.H. Malik Zuhri,S.Pd. MMPd. Selaku ketua STIT AL-FATTAH
2. Ibu Dwi Rosyidatul Kholidah, M. Pd. I selaku dosen mata kuliah Psikologi Perkembangan
3. Orang bau tanah kami yang telah membantu baik secara moril maupun materi
4. Teman-teman satu kelompok yang telah bekerja sama dalam penyusunan makalah ini.
Makalah ini disusun dengan tujuan pertama memahami dan mendalami ihwal Hubungan Antara Proses Perkembangan dengan Proses Belajar. Kedua memenuhi kiprah diskusi dan pembuatan makalah secara kelompok. Adapun manfaat makalah ini ialah sebagai wahana pembelajaran mata kuliah Psikologi Perkembangan semoga sanggup dipelajari oleh seluruh mahasiswa/mahasiswi khususnya jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami susun ini masih jauh dari sempurna, alasannya itulah kritik dan saran yang membangun dari dosen dan teman-teman sangat kami harapkan.
Siman, 25 Maret 2016
Penulis
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ragam Arti Pendidikan dan Pengajaran
Akar pendidikan ialah “didik” atau “mendidik” yang secara harfiah artinya memelihara dan memberi latihan. Sedangkan “pendidikan”, mirip yang pernah penyusun singgung sebelum ini ialah tahapan-tahapan acara mengubah sikap dan sikap seseorang atau sekelompok orang melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Dalam bahasa Arab, pendidikan disebut “tarbiyah” yang berarti proses persiapan dan pengasuhan insan pada fase-fase awal kehidupannya yakni pada tahap perkembangan masa bayi dan kanak-kanak (Jalal, 1988). Dalam sebuah Kamus Arab-Inggris Modern disebutkan kata rabba, dan rabbaba, dan tarabbabal walada mempunyai arti yang sama yakni so foster atau to bring up (Elias & Elias, 1982), artinya memelihara mengasuh anak.[1]
Dalam bahasa Inggris, pendidikan disebut education yang kata kerjanya to educate. Padanan kata ini ialah to civilize, to develop, artinya memberi peradaban dan mengembangkan. Istilah education mempunyai dua arti, yakni dari sudut orang yang menyelenggarakan pendidikan dan arti dari sudut orang yang di didik. Dari sudut pendidik, education berarti perbuatan atau proses memperlihatkan pengetahuan atau mengajarkan pengetahuan. Sedangkan dari sudut penerima didik, education berarti proses atau perbuatan memeroleh pengetahuan.
Sementara itu, Poerbakawatja & Harahap (1981), Poerwanto (1985), dan Winkel (1991) masing-masing mengartikan pendidikan dengan ungkapan yang maksudnya relatif sama bahwa pendidikan ialah perjuangan yang disengaja dalam bentuk perbuatan, bantuan, dan pimpinan orang cukup umur kepada belum dewasa semoga mencapai kedewasaan. Tekanan mereka dalam hal ini ialah bahwa pendidikan itu harus dilakukan oleh orang dewasa, sedangkan yang dididik harus orang belum cukup umur (anak-anak).
Adapun mengenai istilah “pengajaran” berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991) berasal dari kata “ajar”, artinya petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui (diturut). Kata “mengajar” berarti memberi pelajaran. Contoh: “Guru itu mengajar murid matematika.” Sedangkan kata “mengajarkan” berarti memperlihatkan pelajaran. Contoh: siapa yang mengajarkan sejarah kepada murid-murid kelas IV?” Berdasarkan arti-arti ini, kemudian Kamus Besar Bahasa Indonesia itu mengartikan pengajaran sebagai “proses perbuatan, cara mengajar atau mengajarkan”.
Selanjutnya dalam bahasa Arab, pengajaran disebut “taklim” (terkadang ditulis “ta’lim”) yang berasal dari kata ‘allama, dan padanannya “hazzaba” (terkadang ditulis “hadzdzaba”). Dalam Kamus Arab-Inggris susunan Elias & Elias (1992), kata-kata tersebut berarti : to educate; to train; to teach; to instruct, yakni mendidik, melatih, dan mengajar. Ungkapan kata “allama al-‘ilma” berarti to teach atau to instruct (mengajar).
Ilmu pengetahuan yang berafiliasi dengan pengajaran disebut fannu al-taklim yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan kata pedagogy dan pedagogics yang artinya ilmu mengajar. Pedagogi dan pedagogic ialah dua kata yang sama artinya yakni ilmu pengetahuan, seni, prinsip, dan perbuatan mengajar (Tardif, 1987; Reber, 1988; Mcleod, 1989). Sedangkan orang yang mengaplikasikan pedagogi atau pedagogic tersebut dikenal dengan nama pedagog (pedagogue) yang berarti guru atau pendidik. Alhasil, perbedaan arti pedagogi sebagai pendidikan dengan pedagogik sebagai ilmu pendidikan yang selama ini kita pahami, masih perlu dipertanyakan kesahihannya.
Selanjutnya, istilah pengajaran dalam bahasa Inggris disebut instruction atau teaching. Akar kata instruction ialah to instruct, artinya to direct to do something; to teach to do something; to furnish with information, yakni memberi pengaruhnya semoga melaksanakan sesuatu; mengajar semoga melaksanakan sesuatu; memberi informasi. Istilah instruction (pengajaran) berdasarkan Reber (1988) berarti: pendidikan atau proses perbuatan mengajarkan pengetahuan.
Sementara itu, Tardif (1987) memberi arti instruction secara lebih terperinci yaitu: A preplanned, goal directed educational proses designed to facilitate learning. Artinya, pengajaran ialah sebuah proses kependidikan yang sebelumnya direncanakan dan diarahkan untuk mencapai tujuan serta dirancang untuk mempermudah belajar.
B. Hakekat Hubungan Pendidikan dengan Pengajaran
Pendidikan, menururt Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 ihwal Sistem Pendidikan Nasional Bab 1 Pasal 1, ialah perjuangan sadar dan bersiklus untuk mewujudkan suasana mencar ilmu dan proses pembelajaran semoga secara aktif membuatkan potensi dirinya. Pengertian ini, secara implisit menafiqkan atau mengingkari/menampik kehadiran orang cukup umur sebagai satu-satunya orang yang berhak menjadi penyelenggara pendidikan atau menjadi guru/pendidik sebagaimana yang dikehendaki sebagian jago yang terkesan masih berpikiran tradisional itu.[2]
Konsep “orang dewasa” sebagai pendidik dan pengajar dalam dunia pendidikan modern ini memang semakin kabur, apalagi jikalau dikaitkan dengan pendidikan tinggi atau pendidikan kedinasan. Para penerima didik dalam institusi-institusi kependidikan tersebut sanggup dikatakan terdiri atas orang-orang cukup umur semua, bahkan sebagian di antaranya ada yang sudah berusia setengah baya. Dalam keadaan demikian, tak bolehkah orang masih muda (tetapi berkemampuan memadai) mendidik mereka yang pada umumnya lebih tua? Jawabnya, tentu saja tak ada masalah. Sebab, yang lebih dipentingkan dalam dunia pendidikan dan pengajaran bukan soal usia, melainakan kemampuan psikologis yang memadai.
Selama pendidik mempunyai kemampuan psikologis kependidikan yang sanggup dipertanggungjawabkan, meskipun usianya masih muda atau mungkin jauh lebih muda daripada yang dididik, dia tetap berhak untuk diakui sebagai pendidik. Pada zaman sekaran ini, cukup banyak tangan kanan dosen dan dosen yang brilian berusia muda apalagi di perguruan tinggi tinggi terkemuka di negara-negara maju. Mereka itu, walaupun relatif masih muda, bahkan konon ada yang belum genap 20 tahun, penguasaannya atas materi dan metodologi sangat meyakinkan. Mereka bahkan bisa berpenampilan lebih cukup umur daripada para mahasiswa, yang relatif lebih tua.
Para pendidik yang kiprah utamanya mengajar, baik guru maupun dosen sebagaimana yang diisayaratkan oleh undang-undang, tidak memerlukan syarat usia. Kriteria yang membatasi usia tertentu untuk menjadi tenaga pengajar atau pendidik dalam psikologi pendidikan masa kini hampir tak pernah lagi disinggung-singgung. Tetapi hal ini tentu tidak berarti belum dewasa atau remaja yang nyata-nyata tidak memenuhi syarat psikologis boleh menjadi pendidik atau guru.
Syarat psikologis yang lengkap, utuh, dan menyeluruh bagi seorang calon guru untuk setiap jenjang pendidikan mencakup kompetensi profesionalisme keguruan, yakni kompetensi ranah cipta (kognitif); kompetensi ranah rasa (psikomotor). Asal kompetensi profesionalisme keguruan ini terpenuhi, berapa pun usia guru tentu layak untuk di angkat menjadi guru. Prinsip yang bersifat psikologis ini selain luwes dan menghargai potensi anugerah Tuhan, juga tidak berlawanan dengan prinsip konstitusional yang sama sekali tidak tetapkan usia tertentu untuk diangkat menjadi pendidik.
Selanjutnya pengertian pendidikan berdasarkan UUSPN di atas juga menafikan keharusan adanya belum dewasa atau orang belum cukup umur sebagai satu-satunya kelompok yang berhak memeroleh pendidikan. Penafsiran ini terperinci sanggup dinilai tepat baik ditinjau dari sudut psikologi pendidikan maupun dari sudut kenyataan lapangan. Dari sudut kenyataan yang ada dan berkembang dalam tatanan dunia pendidikan modern sekarang, penerima didik bisa saja terdiri atas pelbagai kelompok usia mulai kanak-kanak hingga dewasa, bahkan kelompok yang mendekati lanjut usia.
Ambillah pola pendidikan kedinasan. Pendidikan kedinasan terperinci bukan pendidikan anak-anak, melainkan untuk para pegawai atau para calon pegawai instansi pemerintahan dalam meningkatkan kemampuan pelaksanaan kiprah kedinasan mereka. Contoh lain contohnya pendidikan professional. Jalur pendidikan ini diarahkan pada kesiapan penerapan keahlian atau profesi tertentu, yang kalau pesertanya belum dewasa tentu tak mungkin sanggup mengikuti pendidikan tersebut.
Alhasil, pendidikan pada hakikatnya mirip dinyatakan para jago psikologi dan pendidikan antara lain Chaplin (1971), Tardif (1987), dan Reber (1988), ialah pengembangan potensi atau kemampuan insan secara menyeluruh yang pelaksanaannya dilakukan dengan cara mengajarkan pelbagai pengetahuan dan kecakapan yang dibutuhkan oleh insan itu sendiri. Hakikat pendidikan yang dikemukakan para jago di atas tenyata juga sama dengan persepsi para penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991). Dalam kamus ini, secara tegas dinyatakan bahwa pendidikan ialah tahapan pengubahan sikap dan tingkah laris insan baik sebagai individu maupun sebagai kelompok melalui ikhtiar pengajaran dan pelatihan. Dalam perspektif psikologi, pembinaan bahu-membahu masih berada dalam ruang lingkup pengajaran. Artinya, pembinaan ialah salah satu unsur pelaksanaan proses pengajaran terutama dalam pengajaran keterampilan ranah karsa.
Selain pengajaran dan pelatihan, dalam pendidikan juga diharapkan adanya bimbingan sebagaimana tersebut pada beberapa pasal dalam UUSPN 2003. Bimbingan, mirip juga pelatihan, ialah belahan penting dari pengajaran. Sebuah upaya pengajaran tanpa bimbingan bukanlah pengajaran yang ideal alasannya akan berdampak terabaikannya penanggulangan kesulitan mencar ilmu dan pelaksanaan remedial teaching yang secara psikologis didaktis merupakan salah satu keharusan bagi guru.
Berdasarkan uraian di atas, dan juga uraian mengenai ragam arti pendidikan dan pengajaran, kini terperinci betapa eratnya hakikat relasi antara pendidikan dengan pengajaran. Namun, benarkah pendidikan lebih utama daripada pengajaran? Dapatkah pendidikan berjalan tanpa pengajaran? Apakah penyelenggaraan pengajaran tidak berarti juga penyelenggaraan pendidikan? Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang sering mengusik sebagian besar mahasiswa pembelajaran psikologi pendidikan khususnya yang penyusun kelola sendiri.
Selain itu, ada pula beberapa macam persepsi sumbang yang muncul di kalangan mahasiswa mengenai hakikat relasi pendidikan dengan pengajaran, antara lain yang paling menonjol bahwa pendidikan itu:[3]
1. jauh berbeda dengan pengajaran
2. lebih penting dengan daripada pengajaran
3. karena pengajaran hanya menanamkan pengetahuan ke dalam aspek kognitif (ranah cipta) dan sedikit memperlihatkan keterampilan psikomotor, sedang aspek afektif (ranah rasa) tak pernah tersentuh.
Persepsi-persepsi mirip di atas tentu tidak akan ada dalam diri mahasiswa kalau bukan alasannya pengalaman mencar ilmu mereka dan atas alasannya kesaksian mereka terhadap kenyataan yang tampak di lapangan. Namun apa pun alasannya, mengubah persepsi yang kurang selaras dengan prinsip-prinsip psikologi pendidikan itu ternyata tidak gampang. Kesukaran yang penyusun hadapi acapkali semakin parah dikala mereka menyatakan bahwa persepsi tersebut “pas benar” dengan klarifikasi beberapa staf pengajar mata kuliah lain yang di antaranya konon lebih senior daripada penyusun. Adalah persepsi yang keliru apabila pendidikan dianggap jauh berbeda dengan pengajaran. Pengajaran boleh jadi tidak sama persis dengan pendidikan, tetapi tidak berarti di antara keduanya terdapat jurang pemisah yang mengakibatkan timbulnya perbedaan yang mencolok. Pendidikan boleh juga dipandang lebih utama daripada pengajaran dalam arti sebagai konsep ideal (sebagai landasan hukum). Namun, sulit dipercaya apabila ada sebuah sistem pendidikan sanggup berjalan tanpa pengajaran. Oleh alasannya itu, pengajaran dengan segala bentuk dan perwujudannya seyogiyanya dipandang sebagai konsep operasional yang berposisi lebih kurang setara kalau bukan persis dengan pendidikan sebagai konsep ideal. Alhasil, berdasarkan ekonomis penyusun, hakikat relasi antara pendidikan dengan pengajaran itu kira-kira mirip dua sisi mata uang logam yang satu sama lain saling memerlukan.
Selanjutnya, istilah pendidikan memang mengandung arti yang luas, yakni meliputi semua upaya menumbuhkembangkan seluruh kemampaun ranah psikologis individu insan yang terkadang sanggup dilakukan dengan cara self-instruction (mengajar diri sendiri). Cara melakasanakan pendidikan disebut mendidik. Jadi, seorang guru sehari-harinya mengajar agama mislanya, ia sanggup juga disebut sebagai pendidik agama selain pengajar agama.
Di pihak lain, jikalau orangtua berkehendak mendidik anaknya dalam bidang agama, maka ia tak akan terlepas dari upaya pengajaran agama dengan cara dan kemampuannya sendiri. Dalam hal ini, pengajaran agama orang bau tanah itu tentu tidak harus dilaksanakan dengan cara berceramah mirip guru kelas, tetapi dengan memberi wejangan, teladan, dan bimbingan mudah sesuai dengan fatwa agama yang diyakininya.
Sebagai catatan penguat uraian mengenai peranan pengajaran, penyusun utarakan sebuah perkiraan bahwa dalam pelaksanaan sehari-hari, proses pengajaran itu (taklim) sudah lebih dahulu ada dan lebih universal daripada pendidikan (tarbiyah). Sebagai bukti, dikala Rasulullah SAW mengajarkan Tilawatul Quran kepada para sahabatnya, dia tidak membatasi hingga mereka cerdik membaca kitab suci secara fasih tetapi lebih jauh lagi, mereka diajari hingga cerdik membaca Al-Qur’an dengan renungan pemahaman, tanggung jawab, dan penanaman amanah (Jalan, 1988).
Berdasarkan alasan-alasan di atas, nyatalah bahwa pengajaran mempunyai signifikansi yang vital dalam proses pendidikan. Bahkan alasannya demikian pentingnya arti pengajaran (taklim) maka Al-Qur’an mengungkapkan istilah ini berkali-kali, antara lain:[4]
1. Dalam Al-Baqarah: 31,
Dan Allah telah ‘mengajarkan’ kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya.
2. Dalam Al-Baqarah: 151,
Allah telah ‘mengajarkan’ kepada kau apa yang belum kau ketahui.
Kemudian, perhatikanlah Al-Baqarah: 282, Al-Kahfi: 65; dan Al-Rahman: 2 dan 4.
Sementara itu, kata “tarbiyah” (pendidikan) dalam Al-Qur’an hanya terdapat dalam:
1. Surah Bani Israil: 24
Dan ucapkanlah ‘Ya Tuhan, kasihanilah mereka berdua sebagaimana mereka telah “mendidik” saya (rabbayani) waktu kecil.
2. Surah Asy Syu’ra : 18
Fir’aun menjawab: Bukankah kami telah ‘mengasuhmu’(nurabbika) di antara (keluarga) kami, waktu kau masih kanak-kanak dan kau tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu
Kata “waktu kecil” (shaghiran) dan kata “kanak-kanak” (walidan) di antara ayat-ayat di atas, memperlihatkan bahwa pendidikan itu terutama merupakan kewajiban keluarga, khususnya dikala belum dewasa dalam fase perkembangan awal yakni masa bayi dan anak-anak.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan dan pegajaran sangatlah berkaitan jikalau ingin mencapai tujuan untuk menghasilkan seorang penerima didik yang mempunyai budpekerti baik dan pandai. Karena pendidikan lebih mengacu pada budpekerti budi pekerti yang baik sedangkan pengajaran lebih mengacu kepada kepandaian, yang jikalau salah satunya di abaikan maka maka akan timbul ketidak seimbangan dalam mencapai tujuan tersebut. Dan semua itu bertujuan mencerdaskan anak didik yang berkualitas supaya sanggup bersaing dengan Negara yang lebih maju.
B. Kritik dan Saran
DAFTAR PUSTAKA
Lagulung, Hasan, Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta:PT. Al-Husna Zikra, 2000
Tohirin, M.S., Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Muhibbin Syah, M.Ed., Psikologi pendidikan dengan pendekatan baru, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008
[1] Muhibbin Syah, Psikologi pendidikan dengan pendekatan baru, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2008, halaman.32
[2] Muhibbin Syah, Psikologi pendidikan dengan pendekatan baru, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2008, halaman.34
[3] Tohirin, M.S., Psikologi pembelajaran pendidikan islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. Halaman.42
[4] Muhibbin Syah, Psikologi pendidikan dengan pendekatan baru, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2008, halaman.37