Tuesday, December 5, 2017

√ Cerpen: Mengapa Harus Malu

Oleh Nurochman



“Ji, sini sebentar,” seru ibu dari dalam kamar. Suaranya agak bergetar alasannya yakni sedang demam alasannya yakni flu!
Aji menghentikan langkah. Ia mengurungkan niatnya untuk bermain.
“Ya, bu. Ada apa?” Aji memutar badannya menemui ibunya.
“Tolong belanja ke pasar untuk lauk makan siang nanti.”
“Belanja ke pasar? Kenapa mesti saya?”
“Ibu sedang sakit. Makanya Ibu suruh kamu.”
“Tapi Aji kan tak pernah belanja ke pasar,” Aji mencari-cari alasan.
“Lagi pula, mana Aji tahu apa yang harus dibeli?”
“Nanti Ibu kasih catatan. Coba ambil kertas dan pulpen.”
Tak usang kemudian, ibu Aji tampak mencatat kebutuhan belanja. Sementara itu, Aji membayangkan dirinya berada di tengah pasar. Menenteng tas keranjang dari plastik diantara sesaknya pengunjung.
“Ukh! Aku tentu harus menyusup ke sana ke mari. Mencari lombok, bawang merah, bawang putih...kangkung, ikan, tempe...” keluh Aji di dalam hati. Selama ini ia memang belum pernah pergi ke pasar. Aji takut kepergok sahabat sekelasnya. Aduuuh, tentu ia akan menjadi materi kisah dan olok-olok teman-teman sekelas.
“Ukh! Kok Ibu tega sih!” gerutu Aji, juga hanya di dalam hati. Namun Aji tak  enak menolak perintah ibunya. Sebab ia kasihan juga melihat ibunya yang sedang sakit.
Aji mendapatkan kertas catatan belanja serta beberapa lembar uang. Namun ia masih tetap bangun ditempatnya. Hatinya bimbang!
“Ayo berangkat mumpung masih pagi. Tunggu apa lagi?”
“Tapi... Aji malu, Bu,” akibatnya Aji bisa menyampaikan isi hatinya. Kepalanya tertunduk, tangannya memainkan kertas catatan itu.
“Kenapa harus malu, Ji! Belanja ke pasar kan bukan hanya pekerjaan wanita. Laki-laki, wanita, tua, muda, anak-anak...semua boleh belanja ke pasar. Pengalamanmu bisa bertambah. Tahu yang mana barang yang manis dan jelek. Tahu harga-harga barang. Kamu juga bisa berguru menawar dan tidak asal membeli,” tutur ibu dengan bunyi yang masih bergetar.
Aji belum beranjak juga. Rasa aib masih membebani langkahnya.
“Kalau kau tak mau, Ibu juga tak maksa. Tapi nanti siang kau hanya makan nasi putih saja. Tak usah pakai lauk.”
Aduh! Aji terpaksa melangkah ke luar rumah.
Turun dari bemo, Aji pribadi masuk ke pasar menenteng keranjang. Ia menyusup di antara pengunjung yang sedang berbelanja. Hari itu suasananya ramai. Hari Minggu memang lebih ramai dibanding hari-hari biasa.
Ketika sedang membeli tempe, Aji merasa ada yang menepuk pundaknya dari belakang. Ia menoleh. Ya ampun! Ternyata Pipit, sahabat sekelasnya. Mendadak wajah Aji jadi hangat dan tebal.
“Belanja, Ji?”

Aji tak bisa menjawab. Lidahnya amat kelu.
“Nah begitu, dong. Itu namanya anak yang tahu membantu orang tua,” puji Pipit.
Aji terpana. Ia tak menyangka temannya akan bicara begitu.
“Yuk, kita belanja sama-sama. Biar tidak celingak-celinguk sendirian!”
Aji mengangguk oke mendengar ajakan Pipit. Kini hatinya lega. Rasa malunya mendadak lenyap.
“Hebat! Ternyata kau bakir belanja juga!” seru Aji dikala ia dan Pipit sedang mengitari pasar, tanpa diduga mereka bertemu Udin. Di tangannya ada kantong plastik yang isinya hampir penuh.
“Hai, kalian belanja juga?” seru Udin terkejut.
Aji bertambah senang. Bertiga, mereka mencari bahan-bahan yang akan dibeli.
Ucapan ibu Aji memang benar. Belanja itu bukan pekerjaan perempuan saja. Di dalam pasar, Aji banyak menjumpai bapak-bapak yang belanja.
“Berada di tengah pasar, ternyata asyik juga! Gumam Aji di dalam hati. ***


Sumber http://campusnancy.blogspot.com