Thursday, December 7, 2017

√ Cerpen: Haruskah Saya Pandai?

Oleh Lena D


Mira, Doni, dan saya sedang berkumpul di ruang depan saat terdengar suara klakson mobil. Papa dan Mama telah datang. Kami bertiga menghambur keluar untuk membukakan pintu pagar. Ah, sudahkah Mama membawa cokelat yang dititipkan Tente Ema untuk kami?
Dua hari yang kemudian Tante Ema menelepon. Adik Mama itu mengundang Mama ke rumahnya alasannya ialah ia sedang bahagia mencoba resep-resep masakan ringan manis yang baru. Kebetulan saya yang mendapatkan teleponnya. Tente Ema sempat juga mengajak omong-omong.
“Nanti kau dan kakak-kakakmu ikut kesini, ya! Silahkan coba masakan ringan manis bikinan Tante” kata Tante Ema di seberang sana.
“Nggak bakal dikasih ikut sama Mama, Tante”, sahutku. “Minggu ini kami banyak ulangan”
“Berarti kini kalian sibuk belajar, dong?”
“He-he,” saya hanya tertawa. Aku tak berani bilang bahwa yang sibuk berguru itu Mira dan Doni, sedang saya sibuk bermain menyerupai biasa.
“Iya, deh,” kata Tante Ema. “Belajar yang tekun ya! Kalau hasil ulangan kalian bagus, Tante akan titip cokelat pada Mama untuk kalian!”
Aku tertawa lagi. Kalau pun nanti ulanganku jelek, Tante Ema niscaya tetap memberiku coklat. Karenanya berdebar-debar  hatiku menunggu Mama membuka tasnya. Hups, Mama mengeluarkan dua batang coklat. Lalu...satu untuk Mira, satu untu Doni.
“Untukku?” saya terlonjak.
“Oh ya, untukmu!” kata Mama.
Tangan Mama masuk lagi ke dalam tas mengambil satu bungkusan. “Oh...ini, masakan ringan manis bolu yummy bikinan Tante!”
Harum daun pandan tercium olehku saat Mama mengangsurkan bungkusan itu ke tanganku. Dari baunya saja, tak terkirakan lezatnya masakan ringan manis Tante. Pastilah itu dibentuk dari resep terbaru Tante Ema. Tapi yang terbayang di pikiranku tetap sebatang coklat menyerupai yang kini dibawa kakak-kakakku.
“Aku mau coklat, Ma,” rengekku.
“Tante Ema bilang, hanya anak yang ulangannya baik sanggup coklat,” jawab Mama.
Hatiku kecewa, kemudian menyelinap ke dalam kamar. Percuma menunggu Mama pulang hingga malam kalau tahu alhasil begini. Uh, siapa menyangkan Tante Ema mulai pilih kasih. Hasil ulangan Bahasa Indonesia-ku kemarin memang jelek. Tapi Tante Ema kan tahu saya tak suka pelajaran Bahasa Indonesia. Dan, Tante Ema niscaya tahu saya tak suka belajar. Kaprikornus kenapa memberi syarat hasil ulangan harus bagus?!
“Hu-huu...,”  aku menangis sedih. Sekarang tak ada lagi yang sayang padaku. Papa dan Mama hanya sayang pada Mira dan Doni yang pintar. Mereka aib memiliki anak terbelakang sepertiku. Apa saya harus arif untuk menyenangkan hati mereka?
Mendengar tangisku, Mama masuk ke kamar. “Wini sayang,” hiburnya. “Tante Ema masih punya sebatang coklat untukmu. Tentu itu sanggup kau peroleh kalau ulanganmu hari jumat nanti baik.”
Aku tetap terisak-isak.
Keesokan harinya saya bangkit dengan mata sembab. Perasaanku juga masih tak enak. Aku jadi ogah-ogahan. Sarapan sengaja kuhabiskan dengan berlambat-lambat. Biar bodoh, biar lapar sekalian! Gerutuku dalam hati. Ketika Ikang menjemput, saya melonjak berdiri. “Tunggu!” seru Mama. “Kamu sarapan sedikit, bawalah masakan ringan manis bolu ini ke sekolah!”
Uh, saya mendengus dan segera menyongsong Ikang, sobat sekolahku.
“Kau menangis?” tebak Ikang begitu melihat mataku. “Ada apa?”
“Nih, gara-gara masakan ringan manis bolu!” masakan ringan manis itu kusorongkan pada Ikang, yang cekatan mengambilnya. “Tante Ema menjanjikanku coklat. Gara-gara ulangan Bahasa Indonesia-ku hancur, ia menggantinya dengan masakan ringan manis bolu,” jelasku.
“Tapi masakan ringan manis ini sungguh enak!” sergah Ikang. “Kau tak mau?”
Aku membuang muka. Tak mau saya melihat rupa masakan ringan manis bolu itu. Pokoknya saya tak mau mendapatkan apa-apa lagi dari Tante Ema. Biar saya jadi anak terbelakang selamanya. Sepanjang jalan saya mengomel panjang pendek, sementara Ikang makan masakan ringan manis dengan lahap. Sesampainya di gerbang sekolah, masakan ringan manis itu sudah habis. Aku membentaknya, “Dari tadi kau dengar saya nggak, sih?”
“Mmmm,” gumam Ikang puas.
Aku tak peduli Ikang tak mendengarkanku. Tapi apa saja yang kukatakan padanya benar-benar kubuktikan. Sepulang sekolah, sesorean saya di teras belakang. Tidak belajar, tidak bermain, Cuma ngambek. Mira menghampiriku, “Mau nggak cokelatku?” tanyanya.
Aku tak menjawab. Hanya kuperhatikan beliau menggigit sepotong kecil coklat ditangannya. Kakak perempuanku itu menggigitnya dengan hati-hati biar kacang mede yang ada di dalam coklat tak ikut tergigit. Persis gaya makanku! Sekarang tampak sebagian kacang mede menyembul, garing dan gemuk. Tanpa sadar saya meraih potongan coklat yang diberikan Mira padaku.
Saat itu Doni melintas di depan kami sambil membawa buku. Katanya kepadaku, “Kubagi juga cokelatku dengamu.”
Wah, betapa baiknya hati kedua kakakku. Mereka selalu mau menyebarkan apa yang mereka punya. Sedangkan saya tak pernah punya sesuatu yang istimewa untuk mereka, alasannya ialah saya tak pernah berjuang untuk mendapatkannya.
Aku mulai berpikir. Bagaimana kalau saya berguru dengan baik untuk ulangan IPS jumat besok? Bila nilaiku bagus, Tante Ema tentu memberiku coklat yang disimpannya.
Aku pun bersemangat. Malamnya, saya berguru mati-matian. Ternyata, esok harinya di sekolah, saya sanggup menjawab dengan benar delapan dari sepuluh soal ulangan. Walaupun kertas ulangan belum dibagikan, saya sanggup menebak saya sanggup nilai delapan. Itu membuatku girang dan pulang ke rumah dengan berjingkrakan.
“Mama, Mama!” teriakku setiba di rumah. Setelah menemukannya, saya berteriak lagi, “Ma, percaya nggak, saya sanggup delapan!”
“Percaya, Mama melihatmu berguru kemarin,” sahut Mama.
“Ayo deh, Ma, telepon Tante Ema sekarang,” pintaku.
“Mintakan coklatku.”
“Ha-ha,” Mama tertawa, “Wini berguru untuk mendapatkan coklat?”
“Iya,” kataku terus terang.
“Coklat itu kubagi nanti dengan Kak Mira dan Abang Doni.
Mereka memberi punya mereka kemarin.”
“Oh...”
Mama tampak menyerupai menungguku berbicara lagi. Jadi, kulanjutkan, “Aku akan rajin berguru , Mama. Nilai cantik membuatku bangga.”
“Oh, Sayang....,” Mama memelukku.
Apa saja yang kukatakan biasanya saya tepati dengan sungguh-sungguh. Malamnya saya berguru dengan tekun bersama kedua kakakku biarpun Sabtu besok tidak ada ulangan. Bahkan esoknya saya begitu bersemangat ke sekolah. Sehingga makanku tergesa-gesa. Ketika Ikang menjemputku, saya berlari ke luar. Sampai-sampai Mama perlu berteriak berkali-kali untuk menahanku.
“Wini, kau lupa sesuatu!” teriak Mama di ujung pintu.
“Apa?” saya berbalik. Kulihat Mama melambaikan sebatang coklat di tangannya. Wow! Aku berlari mendekat. “Dari Mama?” tanyaku.
“Dari Tante Ema,” ujar Mama tersenyum. “Mama hanya menyimpannya beberapa hari hingga kau mau belajar.”
“Ah, Mama...” saya memeluknya dengan sayang. Sementara itu Ikang mendekat dan merenggut coklat dari tanganku.
“He...!” teriakku. “Bukan untukmu saja, Kang! Tapi juga kakak-kakakku!”
“Wow!” komentar Ikang.
Ah, temanku ini. Ia selalu meledekku entah saya senang, entah saya sedih. ****


Sumber http://campusnancy.blogspot.com