Sunday, July 2, 2017

√ Dongeng Fatimah Az-Zahra ( Budbahasa Sayyidatina Fatimah Az-Zahra )

 Alkisah seorang kakek muncul ketika Rasulullah sedang berkumpul bersama para sahabatnya d √ Kisah Fatimah Az-zahra ( AKHLAK SAYYIDATINA FATIMAH AZ-ZAHRA )

Alkisah seorang kakek muncul ketika Rasulullah sedang berkumpul bersama para sahabatnya di dalam masjid selepas mengerjakan shalat jamaah.

“Wahai, Rasulullah, saya sangat lapar, tolonglah saya, dan saya tidak punya pakaian kecuali yang melekat di tubuh sekarang. Berilah saya…”

Sebenarnya Rasulullah sangat iba menyaksikan keadaan orang bau tanah itu. Wajahnya pucat, bibirnya membiru dan tangannya agak gemetar memegangi tongkatnya.

Cuma kebetulan ia sedang tidak punya apa-apa, sudah habis diberikannya kepada orang lain.

“Maaf, pak tua, tidak ada yang sanggup saya berikan ketika ini. Tetapi jangan putus asa. Datanglah kepada anak saya, Fatimah, mungkin ada sesuatu yang bisa diberikannya sebagai sedekah.”

Maka pergilah kakek itu kepada Fatimah. Di depan rumahnya kakek itu berseru, “Wahai putri Rasulullah. Aku lapar sekali. Dan tidak punya apa-apa. Aku tiba kepada ayahmu, tetapi ia sedang tidak punya apa-apa. Aku disuruhnya tiba kepadamu. Mungkin engkau punya sedekah untukku?”

Fatimah kebingungan. Ia tidak mempunyai barang yang cukup berharga untuk disedekahkan.
Selaku keluarga Rasulullah ia telah terbiasa menjalani hidup amat sederhana, jauh di bawah taraf kehidupan rakyat jelata.
Yang dianggapnya masih tidak mengecewakan berharga cuma selembar kulit kambing yang biasa digunakan sebagai ganjal tidur Hasan dan Husain. Jadi, itulah yang diambil dan diserahkannya kepada si kakek.

Orang bau tanah itu lebih kebingungan daripada yang memberikannya. Ia sedang lapar dan tidak punya apa-apa. Mengapa kepadanya diserahkan selembar kulit kambing? Buat apa?
“Wahai Putri Rasulullah. Apakah kulit kambing itu sanggup mengenyangkan perutku dan sanggup kupakai untuk menghangatkan badanku?” tanya orang bau tanah itu.

Fatimah tidak bisa menjawab. Ia kembali masuk ke dalam rumahnya, mencari-cari benda lain yang pantas disedekahkan. ia bertanya-tanya, mengapa ayahku mengirimkan orang ini kepadaku, padahal Ayah tahu saya tidak lebih kaya daripada beliau?

Sesudah melongo sejenak barulah ia teringat akan seuntai barang santunan Fatimah binti Abdul Muthalib, bibinya. Barang itu amat indah, namun ia merasa kurang pantas memakainya sebab ia dikenal sebagai putri dari pemimpin umat.

Barang itu yaitu sebuah kalung emas.
Buru-buru diambilnya benda itu dari dalam kotak simpanannya, kemudian diserahkan kepada si kakek.

Orang itu terbelalak melihat benda yang kini digenggamnya. Begitu indah. Pasti amat mahal harganya. Dengan suka cita orang itu pergi menemui Rasulullah kembali di masjid.

Diperlihatkannya kepada ia kalung emas santunan Fatimah.
Rasulullah hanya berdoa, “Semoga ALLAH membalas keikhlasannya.”

Salah satu sobat nabi yang kaya raya, Abdurrahman bin Auf, berkata, “Wahai, bapak tua. Maukah kamu jual kalung itu kepadaku?”
Kakek itu menoleh kepada Nabi, “Bolehkah saya jual, Ya Rasul?”
“Silakan, kalung itu milikmu,” sahut Nabi.

Orang bau tanah itu lantas berkata kepada sobat Abdurrahman bin Auf, “Berikan kepadaku beberapa potong roti dan daging untuk mengganjal perutku, dan sekedar biaya kepulanganku ke kampung.”
Abdurrahman bin Auf mengeluarkan duapuluh dinar dan seratus dirham, beberapa potong roti dan daging, pakaian, serta seekor unta untuk tunggangannya ke kampung.

Dengan bangga kakek itu berkata, “Terima kasih, wahai kekasih ALLAH. Saya telah mendapat lebih daripada yang saya perlukan. Bahkan saya telah merasa menjadi orang kaya.”

Nabi menjawab, “Terima kasih kepada Allah dan Rasul-Nya harus diawali dengan berterimakasih kepada orang yang bersangkutan. Balaslah kebaikan Fatimah.”

Orang bau tanah itu kemudian mengangkat kedua tangannya ke atas, “Ya ALLAH, saya tak bisa membalas kebaikan Fatimah dengan yang sepadan. Karena itu saya mohon kepada -Mu, berilah Fatimah akhir dari hadirat -Mu, berupa sesuatu yang tidak terlintas di mata, tidak terbayang di indera pendengaran dan tidak terbetik di hati, yakni nirwana -Mu, Jannatun Na’im.”

Rasulullah menyambut doa itu dengan amin seraya tersenyum ceria.
Beberapa hari kemudian, budak Abdurrahman bin Auf, berjulukan Saham tiba menghadap Nabi sambil membawa kalung yang dibeli dari orang bau tanah itu.

“Ya Rasulullah,” ujar Saham. “Saya tiba kemari diperintahkan Tuan Abdurrahman bin Auf untuk menyerahkan kalung ini untukmu, dan diri saya sebagai budak diserahkannya kepadamu.”

Rasululloh tersenyum. “Kuterima santunan itu. Nah, kini lanjutkanlah perjalananmu ke rumah Fatimah, anakku. Kalung ini tolong serahkan kepadanya. Juga engkau kuberikan untuk Fatimah.”

Saham kemudian mendatangi Fatimah di rumahnya, dan menceritakan pesan Rasululloh untuknya.
Fatimah dengan lega menyimpan kalung itu di daerah semula, lantas berkata kepada Saham, “Engkau kini telah menjadi hak ku sebab itu, engkau kubebaskan. Sejak hari ini engkau kembali menjadi orang merdeka.”

Saham tertawa nyaring hingga Fatimah keheranan, “Mengapa engkau tertawa?”
Bekas budak itu menjawab, “Saya bangga menyaksikan riwayat sedekah dari satu tangan ke tangan berikutnya.

Kalung ini tetap kembali kepadamu, wahai putri junjungan, namun sebab dilandasi keikhlasan, kalung ini telah menciptakan kaya orang miskin, telah menjamin nirwana untukmu, dan kini telah membebaskan saya menjadi insan merdeka.”

ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺻَﻞِّ ﻋَﻠَﻰ ﺳَﻴِّﺪِﻧَﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻭَﻋَﻠَﻰ ﺁﻝِ ﺳَﻴِّﺪِﻧَﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ …
Allahuma sholi ‘ala sayidina Muhammad nabiyil umiyi wa ‘ala ‘alihi wa shohbihi wa salim.

sumber : https://www.facebook.com/ZuhudRijal

Semoga bermanfaat.
Sumber http://infobio-blog.blogspot.com